Nyanyian Jiwa
Oleh : Gede Prama
Seorang anak muda Bali bertanya secara amat menyentuh hati: ada apa dengan orang Bali?. Di pulau sendiri sudah mulai ada yang tidak betah (dalam beberapa kejadian, bahkan setelah menjadi mayat pun masih disakiti orang). Di luar Bali – ingat kisah desa Balinuraga di Lampung tahun 2012 serta kejadian di Sumbawa awal 2013 – orang Bali dikejar, diusir, sebagian ketakutan lari ke hutan, bahkan ada yang meninggal. Sehingga sambil menahan tangis, anak muda ini bertanya, ke mana kemudian kita mesti berlindung?
Nutrisi Jiwa
Sejarahwan agama Karen Armstrong yang meneliti pencarian manusia akan Tuhan selama empat ribu tahun, dan menuliskan hasilnya dalam buku Hystory of God, jernih sekali dalam hal ini. Di zaman keemasan dulu – di mana hati manusia masih bersih jernih – sejumlah orang suci bercakap-cakap langsung dengan Tuhan. Abraham dan Musa di Kristianitas, Arjuna di Hindu berdialog dengan Tuhan. Tapi di zaman ini (zaman kapak) semua orang suci dihaluskan dengan penderitaan.
Mahatma Gandhi ditembak, Yesus Kristus disalib, Marthin Luther King Jr. ditembak, Nelson Mandela dipenjara selama 27 tahun, YM Dalai Lama kehilangan negerinya tatkala berumur belasan tahun, Thich Nhat Hanh pernah diusir dari negerinya. Itu sebabnya, Pangeran Siddharta tatkala pertama kali keluar dari istana, Guru rahasia di alam memberi pelajaran pertama dan paling utama: “dukkha”. Sehingga kembali ke cerita kesedihan yang sedang melanda banyak orang Bali, penderitaan bukan hukuman Tuhan, bukan juga godaan setan, melainkan amplas-amplas yang amat menghaluskan. Meneruskan pesan Guru dari dalam: “all spiritual awakening is preceded by the dark nights of the soul“. Semua kebangkitan spiritual diawali oleh malam-malam gelap bagi sang jiwa. Dan tanda utama malam gelap bagi jiwa adalah penderitaan.
Serupa mengangkat beban berat di pusat kebugaran, maka otot-otot badan akan semakin kuat dan sehat. Otot-otot jiwa serupa. Asal penderitaan dialami secara tulus, tekun, ikhlas ia juga memperkuat dan mempersehat otot jiwa kemudian. Seorang murid meditasi pernah bertanya hubungan antara meditasi dengan karma. Dalam cerita banyak orang yang meditasinya tekun, meditasi – salah satu hasil meditasi adalah kemampuan untuk menderita secara tidak terbatas – membuat karma buruk khususnya datang tatkala kita sudah siap. Di tingkatan yang lebih dalam, sebutlah karena kekhilafan seseorang melakukan banyak pembunuhan (contohnya Angulimala), sehingga karmanya ia harus terbunuh, tapi meditasi dan berkah Guru membuat Angulimala hanya dilempar batu. Dan yang terdalam (contohnya Jetsun Milarepa), praktek meditasi mendalam yang berjumpa berkah Guru membuat bahkan kesalahan membunuh pun bisa dimurnikan. Lebih dari termurnikan, Milarepa mengalami pencerahan mengagumkan. Lewat cerita ini terlihat terang benderang, penderitaan – di tangan manusia yang meditasinya tekun, tulus, ikhlas adalah nutrisi (vitamin) jiwa.
Wewangian Jiwa
Dalam jiwa yang sudah bergizi cukup, kemudian kehidupan menunjukkan wajah yang berbeda. Kerja sebagai contoh, bagi jiwa yang kekurangan gizi (mengeluh, protes, tidak pernah puas) adalah serangkaian keterpaksaan yang membosankan. Sebagian orang bahkan dibikin sakit dan berpenyakit oleh kerja. Bagi jiwa yang bergizi cukup (tulus, tekun, ikhlas), kerja adalah Tuhan yang imanen sedang bertransformasi menjadi Tuhan yang imanen. Petani mengolah lahan (Tuhan) menjadi buah-buahan (Tuhan). Pedagang menyalurkan buah (Tuhan) ke konsumen (Tuhan). Lebih-lebih bila dilakukan dengan bahagia – karena kebahagiaan adalah bentuk puja terbaik – maka kerja adalah puja sekaligus nyanyian jiwa.
Di kedalaman penggalian meditasi seperti ini, pernah terdengar pesan indah sekali: “Similar to flower which is fragrant, the language of the enlightened so touching, because language is the fragrance of the soul“. Serupa bunga yang wangi, bahasa mahluk tercerahkan demikian menyentuh (halus, sopan, indah) karena bahasa adalah wewangian yang disemprotkan dari kedalaman jiwa. Artinya, tidak saja kerja menjadi nyanyian jiwa, bahasa juga bagian dari nyanyian jiwa.
Sebagaimana tetua Jawa, tetua Bali juga hati-hati sekali dalam menggunakan bahasa, apa lagi bertindak. Lebih-lebih bahasa orang tua ke anak-anaknya yang bisa menjadi kenyataan. Demikian juga bahasa pemimpin dan media (keteladanannya, bahasa tubuhnya, pilihan kata, kelembutan dalam mengungkapkan bahasa, kesesuaian dengan tempat dan waktu), ia ikut mencipta kehidupan. Makanya tatkala ada remaja Bali yang prihatin dengan Bali kekinian kemudian marah, Guru di dalam berpesan: “hold your opinion loosely“. Bibit kekerasan paling berbahaya tidak berasal dari perbedaan agama dan ras, tapi karena manusia dicengkram oleh pendapatnya sendiri. Sehingga melonggarkan cengkraman pendapat sendiri, adalah sebuah tugas meditatif penting di zaman ini. Caranya, apa pun yang terjadi tugas seseorang hanya menyaksikan. Seperti pesan dalam guided meditation: pikiran dan perasaan boleh muncul dalam bentuk apa saja, benar-salah, senang-sedih, baik-buruk tugasnya meditasi hanya satu yakni saksikan, saksikan, saksikan. Setelah longgar dari cengkraman pendapat sendiri, kemudian baru bisa memberi hadiah berupa pengertian ke orang lain.
Mengerti bahwa orang jahat tidak berdiri sendiri. Ada orang tua yang masih bertumbuh, ada sekolah yang belum tertata, ada pemimpin yang pelit sekali memberi tauladan, ada pemberitaan media yang penuh kekerasan dan permusuhan, ada iklan yang menggoda agar keinginan naik dan naik lagi, ada lingkungan beracun, yang semuanya membuat mereka jadi jahat. Di kedalaman pengertian yang dalam terlihat, sebagian besar orang jahat jadi jahat lebih karena menjadi “korban” keadaan bukan aktor. Tidak ada orang jahat yang meniatkan dirinya menjadi jahat. Sebagai contoh, studi-studi mendalam tentang kaum fundamentalis di banyak negara menunjukkan, kaum fundamentalis beranggapan bahwa dirinya akan diserang. Ini adalah hasil dari lingkungan yang terlalu bersaing dan kompetitif. Mempelajari penemuan ini, maka kemarahan – apa lagi serangan – hanya akan memperkuat anggapan bahwa mereka benar-benar akan diserang. Sebagai hasilnya, kehidupan kemudian bernasib seperti api yang mau dipadamkan dengan ilalang kering.
Pelajaran terpenting yang muncul dari sini, pengertian, kasih sayang, persahabatan itulah yang menyembuhkan baik pihak penyerang maupun yang diserang. Dengan pengertian, kasih sayang, persahabtan kita ikut memberi nutrisi pada jiwa masyarakat. Bersama-sama pada akhirnya kita melantumkan nyanyian jiwa. Menjawab pertanyaan amat menyentuh hati di awal tulisan ini tentang tempat berlindung, melalui cara ini manusia sedang berlindung pada cahaya (teja, surya, jiyoti) yang ada di dalam diri.
sumber : https://www.facebook.com/maheswara.mahendra
Oleh : Gede Prama
Seorang anak muda Bali bertanya secara amat menyentuh hati: ada apa dengan orang Bali?. Di pulau sendiri sudah mulai ada yang tidak betah (dalam beberapa kejadian, bahkan setelah menjadi mayat pun masih disakiti orang). Di luar Bali – ingat kisah desa Balinuraga di Lampung tahun 2012 serta kejadian di Sumbawa awal 2013 – orang Bali dikejar, diusir, sebagian ketakutan lari ke hutan, bahkan ada yang meninggal. Sehingga sambil menahan tangis, anak muda ini bertanya, ke mana kemudian kita mesti berlindung?
Nutrisi Jiwa
Sejarahwan agama Karen Armstrong yang meneliti pencarian manusia akan Tuhan selama empat ribu tahun, dan menuliskan hasilnya dalam buku Hystory of God, jernih sekali dalam hal ini. Di zaman keemasan dulu – di mana hati manusia masih bersih jernih – sejumlah orang suci bercakap-cakap langsung dengan Tuhan. Abraham dan Musa di Kristianitas, Arjuna di Hindu berdialog dengan Tuhan. Tapi di zaman ini (zaman kapak) semua orang suci dihaluskan dengan penderitaan.
Mahatma Gandhi ditembak, Yesus Kristus disalib, Marthin Luther King Jr. ditembak, Nelson Mandela dipenjara selama 27 tahun, YM Dalai Lama kehilangan negerinya tatkala berumur belasan tahun, Thich Nhat Hanh pernah diusir dari negerinya. Itu sebabnya, Pangeran Siddharta tatkala pertama kali keluar dari istana, Guru rahasia di alam memberi pelajaran pertama dan paling utama: “dukkha”. Sehingga kembali ke cerita kesedihan yang sedang melanda banyak orang Bali, penderitaan bukan hukuman Tuhan, bukan juga godaan setan, melainkan amplas-amplas yang amat menghaluskan. Meneruskan pesan Guru dari dalam: “all spiritual awakening is preceded by the dark nights of the soul“. Semua kebangkitan spiritual diawali oleh malam-malam gelap bagi sang jiwa. Dan tanda utama malam gelap bagi jiwa adalah penderitaan.
Serupa mengangkat beban berat di pusat kebugaran, maka otot-otot badan akan semakin kuat dan sehat. Otot-otot jiwa serupa. Asal penderitaan dialami secara tulus, tekun, ikhlas ia juga memperkuat dan mempersehat otot jiwa kemudian. Seorang murid meditasi pernah bertanya hubungan antara meditasi dengan karma. Dalam cerita banyak orang yang meditasinya tekun, meditasi – salah satu hasil meditasi adalah kemampuan untuk menderita secara tidak terbatas – membuat karma buruk khususnya datang tatkala kita sudah siap. Di tingkatan yang lebih dalam, sebutlah karena kekhilafan seseorang melakukan banyak pembunuhan (contohnya Angulimala), sehingga karmanya ia harus terbunuh, tapi meditasi dan berkah Guru membuat Angulimala hanya dilempar batu. Dan yang terdalam (contohnya Jetsun Milarepa), praktek meditasi mendalam yang berjumpa berkah Guru membuat bahkan kesalahan membunuh pun bisa dimurnikan. Lebih dari termurnikan, Milarepa mengalami pencerahan mengagumkan. Lewat cerita ini terlihat terang benderang, penderitaan – di tangan manusia yang meditasinya tekun, tulus, ikhlas adalah nutrisi (vitamin) jiwa.
Wewangian Jiwa
Dalam jiwa yang sudah bergizi cukup, kemudian kehidupan menunjukkan wajah yang berbeda. Kerja sebagai contoh, bagi jiwa yang kekurangan gizi (mengeluh, protes, tidak pernah puas) adalah serangkaian keterpaksaan yang membosankan. Sebagian orang bahkan dibikin sakit dan berpenyakit oleh kerja. Bagi jiwa yang bergizi cukup (tulus, tekun, ikhlas), kerja adalah Tuhan yang imanen sedang bertransformasi menjadi Tuhan yang imanen. Petani mengolah lahan (Tuhan) menjadi buah-buahan (Tuhan). Pedagang menyalurkan buah (Tuhan) ke konsumen (Tuhan). Lebih-lebih bila dilakukan dengan bahagia – karena kebahagiaan adalah bentuk puja terbaik – maka kerja adalah puja sekaligus nyanyian jiwa.
Di kedalaman penggalian meditasi seperti ini, pernah terdengar pesan indah sekali: “Similar to flower which is fragrant, the language of the enlightened so touching, because language is the fragrance of the soul“. Serupa bunga yang wangi, bahasa mahluk tercerahkan demikian menyentuh (halus, sopan, indah) karena bahasa adalah wewangian yang disemprotkan dari kedalaman jiwa. Artinya, tidak saja kerja menjadi nyanyian jiwa, bahasa juga bagian dari nyanyian jiwa.
Sebagaimana tetua Jawa, tetua Bali juga hati-hati sekali dalam menggunakan bahasa, apa lagi bertindak. Lebih-lebih bahasa orang tua ke anak-anaknya yang bisa menjadi kenyataan. Demikian juga bahasa pemimpin dan media (keteladanannya, bahasa tubuhnya, pilihan kata, kelembutan dalam mengungkapkan bahasa, kesesuaian dengan tempat dan waktu), ia ikut mencipta kehidupan. Makanya tatkala ada remaja Bali yang prihatin dengan Bali kekinian kemudian marah, Guru di dalam berpesan: “hold your opinion loosely“. Bibit kekerasan paling berbahaya tidak berasal dari perbedaan agama dan ras, tapi karena manusia dicengkram oleh pendapatnya sendiri. Sehingga melonggarkan cengkraman pendapat sendiri, adalah sebuah tugas meditatif penting di zaman ini. Caranya, apa pun yang terjadi tugas seseorang hanya menyaksikan. Seperti pesan dalam guided meditation: pikiran dan perasaan boleh muncul dalam bentuk apa saja, benar-salah, senang-sedih, baik-buruk tugasnya meditasi hanya satu yakni saksikan, saksikan, saksikan. Setelah longgar dari cengkraman pendapat sendiri, kemudian baru bisa memberi hadiah berupa pengertian ke orang lain.
Mengerti bahwa orang jahat tidak berdiri sendiri. Ada orang tua yang masih bertumbuh, ada sekolah yang belum tertata, ada pemimpin yang pelit sekali memberi tauladan, ada pemberitaan media yang penuh kekerasan dan permusuhan, ada iklan yang menggoda agar keinginan naik dan naik lagi, ada lingkungan beracun, yang semuanya membuat mereka jadi jahat. Di kedalaman pengertian yang dalam terlihat, sebagian besar orang jahat jadi jahat lebih karena menjadi “korban” keadaan bukan aktor. Tidak ada orang jahat yang meniatkan dirinya menjadi jahat. Sebagai contoh, studi-studi mendalam tentang kaum fundamentalis di banyak negara menunjukkan, kaum fundamentalis beranggapan bahwa dirinya akan diserang. Ini adalah hasil dari lingkungan yang terlalu bersaing dan kompetitif. Mempelajari penemuan ini, maka kemarahan – apa lagi serangan – hanya akan memperkuat anggapan bahwa mereka benar-benar akan diserang. Sebagai hasilnya, kehidupan kemudian bernasib seperti api yang mau dipadamkan dengan ilalang kering.
Pelajaran terpenting yang muncul dari sini, pengertian, kasih sayang, persahabatan itulah yang menyembuhkan baik pihak penyerang maupun yang diserang. Dengan pengertian, kasih sayang, persahabtan kita ikut memberi nutrisi pada jiwa masyarakat. Bersama-sama pada akhirnya kita melantumkan nyanyian jiwa. Menjawab pertanyaan amat menyentuh hati di awal tulisan ini tentang tempat berlindung, melalui cara ini manusia sedang berlindung pada cahaya (teja, surya, jiyoti) yang ada di dalam diri.
sumber : https://www.facebook.com/maheswara.mahendra
Tidak ada komentar:
Posting Komentar