Kamis, 09 April 2015

Surat untuk heaty

Aku mungkin akan menemuimu terjebak dalam pikiranmu sendiri, karena sedang jatuh cinta dan kau akan menulisi harian tanpa makna, entah untuk siapa.
Dan aku, aku ingin membaca tulisanmu itu, sebab seperti yang kau tahu aku senang membaca, sebab terkadang ada kalanya aku menulis sendiri dan membayangkan itu adalah tulisanmu.
Kau tahukan?
Setiap pemikiran bisa diutarakan dalam sebuah pembicaraan, tetapi mengapa kita tidak pernah punya waktu untuk bersama untuk membicarakan hal yang penuh makna?
Aku ingin mendengar ceritamu saat engkau jatuh cinta pada seorang pria tampan yang pintar main gitar itu, tetapi ternyata ada seseorang yang mengalahkanmu untuk memperoleh hatinya, aku juga ingin mendengar ceritamu saat engkau galau karena semua temanmu sudah dengan pasangannya masing masing dan engkau masih sendiri.
Tidak usah kuatir, sendiri itu menyenangkan meskipun terkadang merasa sepi, tetapi mengapa tidak engkau coba untuk menikmati?
Ada kalanya, saat aku menulisimu surat, aku membayangkan senyum manismu iti kepadaku, apakah aku telah jatuh cinta kepadamu?
Aku sedikit sentimentil dan sedikit pilosofis, meskipun semua serba sedikit, aku tetap menikmatinya, tetapi setiap kali aku bertanya kepada diriku sentimentil itulah yang berkuasa san setiap aku mencoba untuk jatuh cinta, selalu ada alasan pilosofis untuk menolaknya..
Jatuh cinta itu sebenarnya sederhana, kau tidak perlu memaksa seseorang untik mencintaimu, mungkin seperti aku yang tidak pernah memaksamu untuk melihat kearahu, meskipun ada getar yang sangat terasa ketika bertemu.
Bukankah cukup bagiku, menulisimu suray yang tidak pernah kukirim dan tentu tidak akan pernah kau baca ini?
Rasanya memang seperti cerita yang tidak pernah selesai, tetapi aku bukanlah seorang pria tokoh novel yang akan menikmati happy ending di akhir ceritanya, aku tahu tidak akan ada hasil apa-apa dan tidak akan terjadi apa-apa..
Pernah memang kucoba untuk jatuh cinta, tetapi aku tidak tahu mengapa jatuh cintaku pasti selalu pada orang yang sama meskipun disaat dan tempat yang berbeda.
Ya, itulah yang terjadi, terkadang aku hanya mencoba untuk mencerna, terkadamg juga memaknainya, mungkinkah akan tiba saatnya?
Kau akan membaca tulisanmu yang pernah kau buat untuknya dan aku membaca surat yang selalu kutulia untukmu, kita memang berbeda, jalan kita berbeda dan semuanya berbeda, tetapi mengapa aku mengharapkanmu tentang rasa cinta?

Liana

Liana, dia gadis cantik, tokoh cerpenku dalam judul Tentang hujan di tepi danau toba. Entah kenapa, aku tadi berremu dengannya, ketika pulang kuliah, dia sedang duduk di depan halte sebuah kampus kurang ternama di kota M.
Dia menumpang angkot yang juga kutumpangi, anehnya dia memilih duduk disampingku, ciri-cirinya persis sama dengan tokoh cerpen itu, aku tahu namanya ketika tasnya terjatuh dan kartu tanda mahasiswa, ktp dan identitas lainnya berhamburan, sayangnya aku tidak mencoba membantu memungutinya karena tidak ingin terjebak adegan romantis dengan tokoh cerpenku sendiri.
Sebenarnya aku ingin bertanya kepadanya, karena seingatku, dalam cerpen yang aku tulis dia mengendarai sepeda motor, bukan naik angkot seperti saat ini, sayangnya, seperti biasa, aku tidal berani untuk memulai sebuah percakapan.
Tetapi kemungkinan tidak bisa diprediksi, kakiku menyenggol sesuatu dan aku melihatnya, sebuah pulpen, kuambil lalu aku menyentuh sikutnya.
"Ini, pulpenmukah?"
Dia melihatku, tersenyum dan berkata, "Ya, tentu.. Terima kasih, ini pulpen yang penuh kenangan.."
Aku tersemyum, ternyata, sama seperti dalam cerpenku, dia juga sentimentil, aku jadi ingat sebuah kutipan yang berkata, tidak tahukah kau betapa sentimentilnya sebuah kenangan?

Angkot terus berjalan dan dia masih duduk disampingku, seandainya bukan perkara pilosofi atau cerita fiksi, aku ingin banyak bertanya kepadanya, tetapi dia terlalu asik dengan sebuah novel berjudul Epigraf, sehingga dia hanya menjawab pertanyaanku dengan ya dan tidak.
Aku memang harus akui, sebagai mahasiswa dengan trayek jauh dari kost kekampus yang menelan waktu sekitar lima puluh sampai enam puluh menit perjalanan, banyak orang yang naik turun dari angkot tersebut dan biasanya aku turun beberapa ratus meter sebelum pangkalan dan saat itu hanya tersisa aku sendiri dengan supir angkot.
Kali ini tidak, aku dengan Liana, tokoh cerpenku yang cantik itu dan aku belum sempat menanyakan alamatnya dam dimana kampusnya ketika aku harus turun dari angkot bahkan aku belum sempat menanyakan kemana tujuannya..
Aku tersenyum sendiri, kupandangi angkot yang bergerak menjauh mengiringi kendaraan-kendaraan lainnya sambil berharap, besok, lusa atau kapan aku bisa naik angkot yang sama dan angkot itu akan berhenti di halte sebuah kampus tidak ternama untuk menaikkan seorang penumpang cantik bernama Liana, aku masih punya beberapa pertanyaan kepadanya dan tentu aku ingin menanyakannya, "Maukah engkau menjadi tokoh cerpenku lagi?"

Arah Dairi Kedepannya

                                                     Arah Kabupaten Dairi Kedepannya Sebagai penduduk Kabupaten Dairi yang sedang merantau, ...