Rabu, 23 Oktober 2013

Batak Bersatu Dalam Warisan Nilai

Nikolas Simanjuntak[1]

Niko simanjuntak

Batak Bersatu Dalam Warisan Nilai

Batak ‘bersatu’ saat ini terasa lebih kental bernuansa entertainment romantika nostalgia kerinduan suasana rural agraris yang stabil di masa lalu. Itu bagi mereka yang lahir di tanah Batak dan kini menjadi urban migran hidup diaspora di perkotaan modern. Generasi terkini di era SMS-internet-gadgets Batak modern, justru sedang mengalami ancaman punah dalam dua-tiga generasi dari sekarang. Lalu, warisan nilai-nilai kebatakan apakah yang masih tersisa untuk mempertautkan (inter-koneksi) Batak masa lalu dengan ‘generasi digital’ terkini yang terancam punah dari akarnya?

Batak “bersatu” untuk apa?

Tahun 1824 adalah tonggak awal pengetahuan kita mengenai Batak di masa lalu. Di sekitar tahun itu dibuat Traktat London sebagai perjanjian transaksi penyerahan kekuasaan wilayah Tapanuli (sebutan tanah Batak di masa itu) dari Belanda kepada koloni Inggris, yang diwakili oleh Stamford Raffles selaku Gubernur Jenderal. Seluruh tanah Batak di masa itu dan sebelumnya adalah total terra incognita, dunia yang belum terjamah kemajuan Barat dan masih benar-benar splendid isolation. “Di masa itu, tak seorang Batak pun sadar bahwa sukunya telah ‘diperdagangkan’ oleh orang-orang yang belum dikenalnya, yakni bangsa Belanda dan Inggeris. Baik Belanda maupun lnggeris juga tidak tahu manusia-manusia yang bagaimana menghuni daerah-daerah cakupan traktat itu.” (Dr.A.B.Sinaga, Mgr., 2007).

Notasi tahun sejak 1824 dan sesudah itu, kini kita ketahui sebagai awal catatan tertulis situasi ‘kesejarahan’ tanah Batak yang kita warisi saat ini. Diantaranya, telah jadi referensi babon bagi kita, bahwa Burton dan Ward, misionaris Inggeris menetap di Silindung pada 1824 dan berhasil menerjemahkan sebagian Kitab Suci ke dalam bahasa Batak. Upaya ini kemudian dilanjutkan oleh Munson dan Lyman (dari Boston, USA). Tetapi dalam perjalanan ke pedalaman, mereka terbunuh di Sisangkak, Lobupining, 28 Juli 1834. Lalu di tahun 1851, H.N. Van der Tuuk, ahli bahasa (filolog) tiba di Sibolga dan pindah ke Barus pada tahun 1852. Dia berhasil menerjemahkan Alkitab ke dalam bahasa Batak. Pada tahun 1862 di Parausorat, tibalah Pdt. I.L. Nommensen, misionaris muda yang menjadi “Apostel di Tanah Batak”. Dan kemudian, pada 7 Nopember 1863, dia sampai di daerah berlumpur aliran sungai Sigeaon, Tarutung, pada usia 30 tahun. Di tempat ini ia berikrar “Tuhan, inilah tempat yang kuimpikan. Biarlah saya mempersembahkan hidupku buat mereka (Batak).”

Semua notasi tahun di sekitar dan sesudah itu, hemat saya (NS), bisa dikatakan sebagai catatan mashab the big man history, yakni sejarah di sekitar orang besar atau di sekitar kekuasaan dan istana tentang Sumatera Utara dan khusus tanah Batak. Diantaranya, perang Paderi (1835), perang Sisingamangaraja (1890-dst), perlawanan rakyat Sunggal di Sumatera Timur, dan sebagainya.

The big man history seperti di atas itulah, hemat saya, yang kita warisi kini menjadi referensi pengetahuan tentang ‘kesejarahan tertulis’ Batak dan Sumut hingga saat ini. Akan tetapi, pertanyaan besar yang seakan jadi misteri: mengapa dan ada apa dengan catatan sejarah sosial orang-orang biasa (history of the ordinary people) tentang Batak? Apa yang terjadi pada tahun-tahun sekitar mulai dikenal sistem pertanian dengan irigasi? Padahal, era inilah tonggak awal peradaban yang memutus rantai ribuan tahun budaya meramu di wilayah splendid isolation. Bagaimana situasi era masa barter sebelum masyarakat Batak dan Sumut mengenal jasa pertukaran dalam bermata-pencaharian (sosio-eko-geografi)? Bagaimana sejarah sosial di sekitar pembentukan usaha perkebunan tembakau, karet, dan kelapa sawit di daerah pantai timur? Apa yang membuat begitu aman dan mudahnya segala usaha korporasi itu dan usaha perminyakan di sekitar Pangkalan Berandan di era 1800-an setelah bangkrutnya VOC? Situasi sosio-ekogeografi apa yang terjadi di sekitar berlakunya Agrarische Wet 1870 pada masa para pejabat kolonial mulai masuk kampung-kampung mengukur setiap jengkal tanah warga? Seberapa parah siksaan dan derita ringkih nenek moyang kita, di saat mereka ‘kerja paksa’ membuka hutan untuk membangun infra stuktur-keras sarana jalan dan persawahan, di kota dan pedesaan yang kita nikmati saat ini? Penelitian ilmiah apa dan untuk tujuan apa yang dilakukan oleh sederet ilmuwan Belanda/Eropa di Sumut dan Batak setelah era 1850-an, seperti Junghun, van Vollen Hoven dengan murid-muridnya, van Bemmelen, dst.?

Sederet sejarah sosio-ekogeografi itu masih gelap bagi generasi terkini karena belum diungkap secara umum. Lalu, apakah generasi Batak modern akan ‘dipaksa’ mewarisi sejarah para pahlawan, yang di sebelahnya mau merawat permusuhan abadi, antara pemenang dan pecundang? Bagaimana ‘kita bersatu’ sebagai Batak dengan warisan modal pengetahuan, yang ternyata untuk ‘kepentingan orang lain’? Bagaimana kita memahami nenek moyang kita Batak, yang belum kita kenal warisan apa sesungguhnya yang akan kita lestarikan sebagai turunan mereka (le mort saisit ‘l vif, yang telah wafat menguasai orang yang masih hidup, para ahli warisnya)?

Sosio-geografi splendid isolation tanah Batak

Gambaran sosio-geografi yang bagaimanakah splendid isolation tanah Batak pada era sebelum Agrarishe Wet 1870? Boleh dikatakan bahwa segala narasi kisah tentang asal-usul orang Batak pertama sampai dengan kisah marga-marga dst., adalah tutur lisan berantai oleh moyang kita yang tidak/belum berbudaya baca-tulis. Kebenaran fakta kisah itu bukan reportase berita, seperti laporan wartawan media saat ini. Juga pasti, itu bukan hasil kajian penelitian ilmiah. Paling maksimal semua narasi kisah itu dalam Ilmu Budaya ataupun Sastra disebut Folklore, yang berarti sebagai “cerita rakyat yang berisi ajaran moral yang baik menurut tradisi atau adat-istiadat masyarakat bersangkutan.” Sebab, jika dirunut dari hasil temuan arkeologis yang dipadu kajian epigragfis dan ilmu sejarah sebagai referensi dasar, maka secara hipotetis diperhitungkan keberadaan orang Batak asal adalah di sekitar tahun 1300. Era masa itu adalah pasca mega tsunami yang menenggelamkan peradaban kota internasional emporium Barus pada tahun 1200. Hancurnya peradaban di Barus kuno itu, menurut referensi Barat, dikatakan karena serangan pasukan Gargasi. Referensi ini menjadi ramuan gabungan antara Folklore dan catatan perjalanan. Dan sesudah itu, tiada peninggalan apa pun yang bisa dirunut tentang peradaban tanah Batak.[2]

Detil kisah fakta peristiwa dengan gambaran situasi konteks sosio-geografis era abad ke-13 sampai dengan tahun 1800-an di dalam narasi “sejarah Batak” yang beredar saat ini, sungguh sangat mudah sekali dipatahkan logikanya dari segi rasional ilmiah era modern, jika narasi itu bukan Folklore. Untuk itu, mutlak harus dilakukan tafsir teks terhadap konteks situasi (hermeneutik). Generasi Batak terkini pastilah sudah modern rasional, berpengetahuan dari sekolah, bahkan sampai di perguruan tinggi dengan capaian akademis tertinggi.

Keseharian hidup mereka generasi kini bergumul dengan ragam berita media massa tertulis dan elektronik. Alat mainan mereka adalah SMS-internet-facebook di laptop dan gadgets. Mereka inilah ‘Generasi Digital’ yang dikenal sebagai Batak modern generasi internet-gadgets masa kini. Semua alat modern itu tidak pernah dikenal, bahkan tak pernah ‘kan terbayangkan oleh moyang kita, Batak asal splendid isolation yang diperkirakan hidup di sekitar tahun 1300-an.

Kini, dari berbagai referensi ilmiah di era modern rasional, telah mudah ditelusuri oleh generasi Batak modern terkini untuk mengetahuinya. Ternyata, setelah ratusan tahun era VOC yang kemudian bangkrut pada 31 Des 1799, lalu menyusul masa pemerintahan kolonial Belanda di tahun 1800. Barulah di tahun 1824, orang-orang Eropa/Belanda mencatat, seluruh daerah tanah Batak sebagai wilayah yang tertutup isolasi rapat (splendid isolation), karena keadaan alam rimba belantara dengan beragam hewan buas dan ganasnya jurang lembah curam pegunungan yang tertutup rapat. Antar masyarakat kampung (huta) yang satu dengan yang lain, tertutup gundukan tanah tinggi dan pepohonan merapat, sehingga antar mereka tidak berkembang relasi sosio-ekonomis, bahkan selalu saling curiga sebagai musuh.

Imajinasi kita pelaku modern saat ini harus diputar-ulang keluar dari gambar situasi sosio-geografis tanah Batak pasca-kemerdekaan RI, agar kita bisa merasakan rangkaian afeksi peristiwa di dalam narasi itu. Budaya era zaman di dalam kisah ‘narasi sejarah’ atau folklore Batak, hampir pasti masih meramu dengan sistem barter dalam bermatapencaharian. Mereka belum mengenal pola pertanian dengan irigasi dan jasa relasi sosio-ekonomi. Juga pasti, belum ada sarana jalan penghubung yang lancar antar kampung, karena semua infrastruktur keras itu baru mulai dibangun setelah tahun 1800-an di masa pemerintah kolonial, puluhan tahun setelah runtuhnya VOC. Situasi zaman itu hampir pasti, mirip dengan suku-suku primitif Amazon di Amerika Latin atau suku primitif lainnya dalam acara TV National Geographic dan Discovery Channel, Meet the Natives, yang di era global masa kini telah menjadi tontonan hiburan.

Narasi kisah ‘sejarah orang Batak’ hampir pasti berupa “petualangan sarat bahaya” di masa sebelum pemerintahan kolonial Hindia Belanda (1800an). Berarti, semua narasi itu ada di masa sebelum kolonial yang pasti juga tanpa ada pengaruh VOC dan suku luar ke wilayah tanah Batak, yang terisolasi hutan lebat alam pegunungan yang dingin menusuk tulang di pagi, sore, dan malam hari. Dalam situasi sosio-geografi itulah, nenek moyang Batak sehari-hari bertualang menembus belantara raya bertabur ancaman bahaya alam dan hewan buas dari satu huta ke huta yang lain, dari lembah yang satu ke lembah yang lain di seputar danau Toba.

Bagaimana mereka menyebar ke berbagai daerah ke luar dari wilayah sekitar danau Toba? Hampir pasti situasi historisnya di zaman itu, sudah masuk era penjajahan dan penindasan yang ringkih dengan kerja paksa oleh pemerintahan kolonial, untuk membangun jalan raya dan merambah hutan menjadi daerah persawahan, perladangan, perkebunan, dan perkampungan (huta) yang kita nikmati di zaman ini. Tetapi lagi-lagi, semua detil fakta peristiwa di dalam narasi migrasi suku dan sub-suku (tribes) itu, tidak bisa dibuktikan sebagai laporan wartawan atau penelitian ilmiah, melainkan benar-benar sebagai Folklore, cerita rakyat yang mengandung moral kultural, nilai tradisi unik, karakter kepribadian dan kekeluargaan khas, untuk diwariskan kepada semua turunannya di masa kini dan masa depan.

Warisan Nilai-nilai Kebatakan

Setiap pewarisan selalu berarti “menghidupkan kembali” kenangan sangat kuat (memoria) yang menggetarkan dorongan bergemuruh dalam sikap hati (tremendum et fascinossum) agar aktif bersikap-tindak. Proses pewarisan itu sekaligus menjadi transfer kuasa, karena pewaris sebagai leluhur yang telah meninggal dunia, masih menguasai mereka semua ahli waris yang masih hidup (le mort saisit l’vif). Maka, warisan leluhur kita orang Batak harus bisa tampak nyata berbentuk peninggalan yang bernilai tinggi dan luhur mulia untuk diteruskan ke masa yang akan datang.

Warisan apakah dari leluhur kita moyang Batak, yang bernilai luhur tinggi dan benar-benar baik serta bermanfaat untuk diteruskan bagi generasi kini dan yang akan datang? Untuk itu, kita ahli waris di zaman modern, harus menatap ke depan dengan memposisikan masa lalu sebagai bahan yang sungguh amat penting bagi pembelajaran di masa akan datang. Menanggalkan masa lalu yang tidak bernilai untuk masa depan, memaafkan segala yang kita nilai kini sebagai kesalahan dan kekeliruan di masa lalu (forgive but not to forget). Itu persis sejalan dengan nilai tradisi asli Batak: “Sude do hinauli na denggan na burju ingkon siingoton, alai sude sahit dohot jea ingkon do bolongkonon”. Dengan begitu, warisan yang bisa kita petik dari narasi Folklore ‘sejarah Batak’, yang bernilai kultural tradisional khas Batak alami (natural particularity), hanya bisa dirunut dari upaya tafsir modern terhadap narasi kisah tersebar yang telah umum diketahui saat ini.

Tafsir apakah yang bisa dipetik dari narasi kisah itu sebagai Folklore yang bernilai luhur tinggi untuk masa kini dan ke depan? Upaya menafsirkan itu berarti juga cara merasionalkan segala mitos, atau demitologisasi, narasi ‘sejarah Batak’ agar generasi terkini dapat memperoleh manfaat pemahaman rasional dari nilai kultural tradisional khas Batak (cultural identity), seraya menaruh rasa hormat kepada si penutur kisah. Sekurang-kurangnya ada 7 (tujuh) butir berikut ini, yang dapat disebut untuk dikembangkan lagi secara kreatif inovatif, bagi kemaslahatan kita bersama Batak modern generasi kini, antara lain sebagaimana berikut ini.

Pertama. Sikap hormat sepenuhnya kepada orang tua yang masih hidup dan yang sudah meninggal, terutama hormat bagi nenek moyang orang tua dan semua anak turunannya. Urutan asal pohon silsilah yang jelas, harus terus dicatat untuk dipelihara dan diturunkan ke putra-putrinya. Karena tanpa itu, bisa jadi timbul masalah serius, jadi tercerabut dari akar pohon asal-usul budaya keluarganya sehingga disindir sebagai Dalle [mengaku diri Batak tapi tak paham tentang Batak].

Kedua. Kearifan lokal Batak dengan identitas kultur yang partikular unik dan bernilai luhur tinggi, sebagai local genius dalam sistem relasi religi sosial demokratis Dalihan Na Tolu: somba marhula-hula, manat mardongan tubu, elek marboru. Hula-hula (pihak marga isteri, ibu sendiri, ibu ayah) di setiap keluarga Batak dan semua saudaranya, hingga kini masih sangat dihormati (somba). Begitu juga semua keluarga hula-hula selalu dengan penuh kasih (elek) kepada Anakboru yang menghormatinya selaku Hula-hula. Diantara sesama dongan tubu (sesama keluarga semarga sendiri), harus selalu saling super hati-hati (manat-manat) penuh pertimbangan akal sehat dalam setiap relasi, agar jangan pernah sampai timbul selisih paham jadi masalah yg serius. Demokrasi yang egaliter, transparan, dan akuntabel, sudah berakar dalam praktik kultur asli Batak, bukan lagi sekadar konsep.

Ketiga. Kepribadian pekerja keras berkarakter ulet, berdaya-tahan, tak kenal menyerah, sampai mampu mempertahankan diri dan seluruh keluarganya dari segala ancaman marabahaya fisik dan non-fisik untuk hidup berlanjut (sustainable survival). Karakter ini sudah dikenal luas oleh masyarakat nusantara, sebagai Batak yang keras, tegas, eksplosif, ulet, pekerja yang rajin, dst… Tapi sering juga salah tingkah, karena jadi tampak garang, sangar, tanpa basa-basi diplomasi, hingga bahkan bisa jadi diberi cap kasar (streotype). Tampilan kemasan luar “tampak kasar” ini harus diperbaiki terus-menerus oleh generasi Batak era modern kini dan ke depan. Namun, jangan sampai menghilangkan mentalitas jatidiri kepribadian berarakter yang sudah terpatri dan dikenal umum selama ini.

Keempat. Daya mampu spiritualitas dan komunikasi batin yang sangat kuat dan mendalam, menyatu-padukan kekuatan metafisis alam semesta (holistic resources spirit) sebagai dasar hidup rohani dengan terus mengasah olah-batin mondar-mandir ke daya olah-pikir. Pastilah, setiap moyang Batak yang hidup di isolasi alam ganas itu memiliki kekuatan fisik dan spiritual yang hebat dan mengagumkan. Mereka berani mengarungi ganasnya alam dan hewan air di sekitar danau Toba dalam situasi geografi tahun 1300-1800an. Dari daerah Balige di arah timur, ada yang bertualang ke ujung paling barat danau di kaki pegunungan seram di pinggiran hutan lebat, hunian gajah dan harimau sumatra yang terkenal ganas di huta Sihotang. Dan setelah memperoleh isteri dari keluarga Raja Sihotang, maka pastilah Raja ini tidak asal sembarang marhela kepada seorang Raja juga yang memperisteri putrinya. Tentu saja, minimal kedua Raja ini sama-sama jagoan dalam fisik dan non-fisik. Rap halak jolma na gogo di parbadanon nang di partondion. Pastilah juga, ketika kembali ke kampung halamannya bersama isterinya, mereka berdua pun begitu hebat dan mengagumkan kekuatan fisik dengan daya spiritual sangat tinggi. Selama bertahun berbilang bulan mereka berjalan kaki menjelajah hutan rimba raya pegunungan dingin menggigit, saban hari diintai hewan buas, dan mendayung di perairan dengan segala ancaman bahaya arus dan angin. Terbukti pula, kini di era modern, kita ketahui laju sejarah kemajuan perkembangan hidup beragama dan berpendidikan, dsm., yang terjadi di tanah Batak ternyata dicatat sebagai salah satu “yang tercepat lajunya” dari berbagai belahan dunia lainnya.

Kelima. Urutan generasi penomoran pohon silsilah keluarga setiap marga, relatif kecil kekeliruannya; karena kuatnya identitas khas sistem relasi Dalihan Na Tolu. Kecuali, kekeliruan bisa jadi soal yang serius seperti sindiran Dalle. Itu bisa terjadi sebagai keterputusan budaya (diskontinuitas), karena ‘praktik lalai’ atas berbagai sebab dan alasan menghilangkan keunikan tradisi dan identitas khas Batak dalam diri dan keluarga intinya disebabkan situasi lokal perantauan. Situasi diskontinuitas ini nyata sangat rawan bagi generasi Batak modern terkini, yang bisa jadi punah pada dua-tiga generasi dari sekarang. Sebab, relasi emosional generasi perkotaan sudah tidak tersambung dengan generasi di tempat asal (Bonapasogit), terutama setelah generasi orangtua masing-masing sudah meninggal dunia. Tambahan lagi, bahasa Batak dan acara-acara budaya asli sudah tidak menarik perhatian generasi terkini, karena dianggap memboroskan energi, waktu, dan biaya.

Keenam. Segala bentuk kekerasan dan “permusuhan antar keluarga” di dalam nuansa dan nada kisah narasi beberapa marga Batak., harus ditinggalkan semua aspek kekerasannya. Tafsir teks dan konteks harus dilakukan terhadap situasi faktual sosio-geografi di era tahun 1300-500an, yang tidak/belum kenal budaya baca-tulis, untuk mencatat fakta laporan peristiwanya. Namun, benarlah keberlanjutan hidup diri sendiri dan keluarga di dalam kisah folklore itu, hanya bisa diteruskan oleh yang terkuat mampu bertahan (survival for the fittest) sebagai nilai ajaran. Tak pernah bisa dibenarkan adanya nilai luhur yang rasional dari “permusuhan antar saudara” untuk boleh diwariskan. Kecuali jika hal yang diwariskan adalah: jangan pernah ada permusuhan lagi antar sesama semarga kapan dan dimana pun. “Ia molo dung sega, dipauli ma, alai molo adong ia na tading, niulahan mamukka paulihon.” Ini pun local genius Batak juga.

Ketujuh. Demitologisasi rasional dari tafsir-ulang (hermeneutik) narasi itu, menampakkan nyata adanya warisan nilai tradisional kultural Batak yang bernilai luhur tinggi bagi generasi terkini, yaitu: agar kita senantiasa saling merawat kasih kemanusiaan dan melestarikan sikap anti-segala kekerasan (nonviolence). Semua kisah seram “permusuhan antar saudara” di dalam satu marga, telah menjadi luka batin mendalam menusuk tulang sumsum secara berantai bergenerasi dengan semua akibat ikutannya dialami hingga ke masa kini. Luka-luka batin itu dikisahkan, konon terjadi di masa lalu, di sekitar tahun 1300-1500an. Bukankah seharusnya, itu bisa dimaafkan walau tak perlu dilupakan untuk bahan pembelajaran. Forgive but not to forget. Biarlah itu tinggal, jadi masa lalu untuk dimaafkan. Maka, jangan pernah diulangi lagi sampai kapan, dimana pun, dan oleh siapa pun juga. Luka lama “permusuhan antar saudara” bisa juga terjadi antar saudara satu Ayah dari dua/lebih ibu. Maka, jelas dan tegas jadi moral warisan yang diturunkan dari narasi Folklore ini adalah: Lelaki Batak jangan pernah berpoligami, “marimbang” atau “unang mardua-dua inanta di jabu”. Di dalam satu Doa Martonggo-tonggo Batak asli bisa kita ketahui moral ini “Si dangka ni arirang, arirang ni Pulo Batu; Na so tupa sirang naung ho saut di ahu; Na so tupa marimbang sai hot tondi di jabu.”

Menjelaskan dan memahami secara komprehensif, benar, dan baik tentang esensi kisah narasi dan luka-luka batin itu, memang juga sungguh sulit dicarikan obatnya di masa lalu. Pastilah, itu karena informasi pengetahuan, ilmu, dan teknologi terbatas di masa itu. Sulit cari obat, juga kita temukan dalam pengalaman banyak penyakit di masa lalu. Tapi di zaman ini, sudah hampir tiada penyakit yang tak bisa disembuhkan. Luka batin permusuhan ini, jika pun tak bisa kita sembuhkan, tapi bisa kita tanggalkan. Kita tinggalkan masa lalu, seraya menatap hari esok dan ke depan. “Sae ma angka na salpu, lupa ma angka na tading gabe ilu-ilu, sai ro ma angka na uli na denggan, martua dapotan sude gabe pasu-pasu, marsogot nang haduan.”

Lagi pula kini, segala bentuk kekerasan, diskriminasi, dan permusuhan itu adalah nyata menjadi pelanggaran HAM (hak-hak asasi manusia), yang dilarang oleh sistem budaya dan hukum negara. Juga itu jelas dan tegas dilarang oleh sistem dunia internasional. Oleh sebab itu, tidak mungkin diteruskan sebagai warisan yang bernilai bagi generasi kini dan yang akan datang. “Ai sahit sisongon i, nang sude angka jea na sotupa, ingkon do i hatop-hatop bolongkonon.”

Batak Modern?

Siapa dan bagaimana Batak modern? Dilemma psiko-sosio-kultural bermentalitas splitz-personality, menjadi soal utama dalam pengalaman masyarakat kota besar seperti Batak di Jakarta. Situasi dan kondisi lokal Jakarta nyata tidak lagi rural agraris, tapi menjadi urban migran. Kehidupan di Jakarta dan kota besar lainnya tidak lagi stabil seperti desa. Tapi nyata sangat dinamis dengan frekuensi mutasi fisik dan psiko-sosiologis yang cepat berubah-ubah. Orang Batak yang bermukim di Jakarta (dan kota besar lainnya) tak bisa lepas dari situasi urban migran. Karena senantiasa dia masih disibukkan urusan keluarga dan peristiwa di kampung halaman yang masih agraris. Sementara irama hidup berkeluarga dan di pekerjaan sendiri, menuntut sikap tindak profesional dan rasional dengan pertimbangan yang sangat terukur dari segi waktu, biaya, dan enerji penggerak psiko-sosial. Frekuensi perubahan dinamika hidup sangat tinggi, dari satu territori ke wilayah lain di seantero nusantara. Pun topik yang sedang digumuli bisa bergeser begitu saja, langsung dari urusan niaga, bisnis manajemen ke perbincangan tentang keluarga, melompat ke situasi moneter, dan loncat lagi ke berita politik hukum aktual, terus sambil berhitung jam sibuk macet di jalanan, dst. Begitulah wujud nyata hidup pragmatis dan pertimbangan praktis kaum urban migran Jakarta, yang hidup dalam diaspora terbuka (open soiety) peradaban global dengan sarana canggih tekno-multimedia.

Tetapi apakah rasa bersatu selaku Batak masih relevan dalam konteks urban migran diaspora terkini? Nyata, masyarakat Jakarta dan kota besar lainnya masih mengharapkan kerinduan ‘Batak bersatu’ akan terpenuhi di dalam acara adat atau upacara khas Batak. Namun implikasinya, bukankah fenomena kerinduan itu seakan jadi fatamorgana. Sering terjadi contoh soal, kerinduan seorang yang sudah merasa berhasil di Jakarta. Lalu agar senantiasa dekat dengan Ayah Ibu yang juga sangat dirindukan oleh anak kandungnya yang mungil, maka orang-tua yang biasa hidup di alam pertanian dusun itu pun ‘dipaksa’ menghidupi udara polusi hiruk pikuk Jakarta. Si orang tua biasanya tak kerasan meninggalkan sawah ladang dan segala pernik desa sunyi alam asri. Tapi dia juga tak sampai hati meninggalkan cucu tersayang dan anak yang sungguh merindukannya. Itulah wujud nyata splitz personality psiko-sosio-kultural kaum urban migran kini, yakni generasi pertama dan kedua hasil bermata-pencaharian di perkotaan modern. Mereka ini ada yang masih terpaut langsung dengan keluarga Batak di tanah asal (bonapasogit). Tetapi juga ada yang sudah ‘lebih Jawa dari Jawa’ atau sudah lebih Sunda karena menyunda hidup di Tatar Sunda.[3] Jika pun ada beberapa kajian atau buku yang menguraikan situasi budaya asli Batak, tidak akan sampai untuk mereka baca. Jika pun buku itu ada, tapi mood psikologis untuk membaca kisah narasi berpanjang-panjang, tidak sesuai dengan alam kondisi mereka yang sangat praktis, perlu singkat, tegas, direktif, terinci, dan bernilai nyata. Dunia hidup mereka di perkotaan, sungguh jauh berjarak tak bisa dikomparasi dengan alam kultur rural agraris. Satu-satunya penyatuan situasi adalah bahwa mereka itu masih Manusia yang tak-lepas dari akar kultur asal di pedesaan.

Masa depan masyarakat Batak modern terkini, juga sangat ditentukan di sentra wilayah marginal urban migran. Ancaman akan hilangnya generasi (the lost generation) menantang kaum muda Batak dan para profesional Batak terkini untuk menyelamatkannya. Relevansi konteks situasi ‘Batak bersatu’ yang dulu di pedesaan hampir selalu ‘hadir bersama’ apakah masih bisa dipertahankan? Situasi personal contact yang intim penuh emphati, justru sangat dirindukan oleh kaum urban migran kini. Betapa sering terdengar jeritan tangis membatin, yang mengeluhkan sangat perlunya fasilitasi pendampingan personal kontak bagi kaum pekerja rendahan, buruh, profesional kerah biru dan putih, aktivis advokasi, yang juga digumuli oleh orang Batak modern di perkotaan padat dan daerah industri. Pengalaman nyata menunjukkan juga bahwa sangat diperlukan inspirasi, animasi, dan coaching egaliter berbentuk fasilitasi pendampingan yang penuh persahabatan intim bagi kaum muda Batak yang menyebar diaspora di eksekutif swasta, di lingkungan kerja sosial kemasyarakatan, dan kenegaraan. Bagaimana cara dan solusi ke arah itu?

Tentu saja disadari ada ragam kesulitan dan implikasi praktis yang akan muncul dari panggilan fasilitasi pendampingan untuk dunia itu. Tetapi justru itu pula yang menjadi sebentuk challenges bagi ujian integritas pribadi Batak mapan, yang diharapkan jadi fasilitator pendamping bagi kaum urban migran dinamis diaspora di perkotaan. Sekali lagi, disini diperlukan warisan nilai bersama dari kekayaan, kekuatan daya dan komunikasi batin kepenuhan hidup spiritual peninggalan moyang Batak di masa sebelum tahun 1800 di wilayah splendid isolation. Sebab, berbagai kemudahan dan fasilitas dari situasi zaman ini, menjadi “musuh” langsung terhadap kesetiaan nilai-nilai hidup keutuhan keluarga. Ruang privacy sangat mudah dan banyak diperoleh kini, sehingga sangat terbuka adanya penyelewengan sumpah bermonogami. Godaan kenikmatan duniawi dari berbagai materi dan fulus yang sangat mudah dijangkau. Alat-alat kontrasepsi dijual bebas, sementara usia pra-nikah menjadi sangat lama. Semua ini mempermudah runtuhnya keutuhan nilai-nilai luhur berkeluarga. Norma warisan leluhur tentang Si dangka ni arirang, arirang ni Pulo Batu; Na so tupa sirang naung ho saut di ahu; Na so tupa marimbang sai hot tondi di jabu” akan semakin tidak mudah dijaga keutuhannya dalam suasana ‘Batak bersatu’ di era zaman serba terbuka yang menerobos ruang privacy di masa kini, dst.

***

Deskripsi di atas itu kiranya bisa menunjukkan, betapa sederet soal berimplikasi praktis dilemmatis di dalam splitz personality, antara mentalitas urban migran berbaur romantika kerinduan rural statis, justru memerlukan redefinisi, reformulasi, dan revitalisasi bagi kerinduan ‘Batak bersatu’ yang berkembang dari masa lalu ke masa kini. Konteksnya, agar tidak sekadar mengejar target entertainment romantis kerinduan situasi rural agraris yang statis di masa lalu. Sejumlah soal praktis ancaman bahaya dialami Batak modern terkini. Mereka sedang mengalami situasi rentan tercerai berai dan tercerabut dari akar asal-usul Batak asli menuju punah pada dua-tiga generasi dari sekarang. Soal-soal itu menjadi tantangan nyata yang dihadapi oleh kerinduan ‘Batak bersatu’. Deretan soal itu juga nampak jauh lebih bernilai moral luhur untuk dicarikan solusi, daripada sekadar motivasi ‘bersatu’ untuk memobiliasi massa bagi tujuan pragmatis, kondisional, situasional partisan, temporer berjangka pendek dengan instrumen retorika ‘Batak bersatu’.*** [NikS.05ix12]

[1] Makalah ini dibuat atas permintaan Perkumpulan Gerakan Batak Bersatu Jkt utk presentasi 20 Nov 2012 di UKI Jkt. Beberapa bagian tulisan ini diolah dari riset Penulis (NS) ttg ‘Hukum Acara Kanibal dalam Budaya Animis’ di dalam buku “Acara Pidana Indonesia dalam SIRKUS HUKUM” Penerbit Ghalia Ind., Jkt, 2009 dan riset terbatas ‘Napak Tilas Peta Sejarah dalam Narasi Simanjuntak Sanggamula’ [2006], juga sebagian dari Paper (NS) “Refleksi Historis Religiositas Masyarakat Asli Indonesia” bersama Ahli Arkeologi dan Ahli Sejarah Gereja dalam Forum Studi Iman Ilmu Budaya, Bhumiksara, Jakarta, Maret 2003;

[2] Penulis bermukim di Jakarta, kelahiran Barus Tapanuli Tengah, alumnus Seminari PSiantar (Prima ‘69), lulusan Univ Islam Sumut (angkatan 1983) dan Pasca-Sarjana Univ Padjadjaran Bandung (angkatan 1992), Pengajar Hukum, HAM, dan ADR di Atmajaya Jakarta, Sekjen ISKA (1997-2001) dan Aktivis di NGO Internasional Pax Romana/ICMICA (Intellectual Movements on Interreligious and Inter-Cultural Affairs), sejak thn 2000 Staf Ahli di DPR RI, Advokat sejak thn 1988 dan Aktivis di berbagai organisasi lain-lain. [Email: nsplaw@gmail.com]

[3] Ref. Hasil penggalian terkini (1990-an) di situs Lobutua Barus oleh tim peneliti dari Ecole Francaise d’Extreme-Orient dan Pusat Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Nasional, yang tidak secara khusus bertujuan mengungkapkan relasi sosio-geografi itu, tetapi banyak deskripsi dari situ yang bisa dirujuk [Claude Guillot cs., Lobu Tua, Seajarah Awal Barus, 2002; Barus Seribu Tahun Yang Lalu, 2008]

[4] Dr. Togar Nainggolan OFMCap, Batak Toba di Jakarta Kontinuitas dan Perubahan Identitas, disertasi di Univ Nijmegen, Belanda, Percetakan Bina Media, 2006;

Arah Dairi Kedepannya

                                                     Arah Kabupaten Dairi Kedepannya Sebagai penduduk Kabupaten Dairi yang sedang merantau, ...