Rabu, 28 Januari 2015

Terima Kasih

Terima kasih telah membuatku terus berjalan menujumu, meski kadang tersendat-sendat, kadang jalanan berkabut, hujan bahkan aku tidak tahu arah menujumu lagi. Kadang aku ragu pada diriku sendiri, ragu kepada keputusanku untuk terus berjalan, tetapi matahari masih terbit di timur dan senja masih datang saat malam menjelang, aku masih tetap menuntun langkahku menujumu. Menuju beningnya tatapan sayumu, rasanya aku tidak bisa membedakan antara rasa senang dan kuatirku. Aku senang memandanginya, tetapi kuatir tidak bisa memilikinya. Mendengar ucapanmu yang selalu mengalir dengan ceria, aku hampir tidak bisa memutuskan apakah aku harus mengingat atau melupakannya. Mengingatnya membuatku selalu ingin mendengarkanmu berbicara, tetapi melupakannya akan membuatku kehilangan jejakmu.
Aku tahu, jalanan ini selalu berbatu saat aku menujumu. Banyak persimpangan yang buatku ragu, terkadang hujan mengguyur impianku, angin menghembusnya. Tetapi perjalanan tetaplah perjalanan untuk sebuah pembentukan dan persiapan, aku memang tidak tahu kemana aku melangkah, tetapi aku tahu langkahku menujumu.
Sebenarnya, ada banyak cerita dalam perjalanan ini. Tentang angin dan debu yang selalu menerpa, bunga di tepi jalan yang selalu menggoda, daun-daun gugur yang menutupi jejakmu dan buatku kehilangan arah.
Tetapi, sekali lagi terima kasih!
Senyummu tetap menuntunku dalam ilusi, memberi warna pada tiap harapan yang pudar.
Aku tahu, aku dan engkau terpisah waktu yang membuatku tidak tahu seberapa lama dan sampai kapan harus tetap berjalan. Aku juga tahu, kita tidak jauh terpisah jarak, tetapi rasanya sangat jauh menujumu. Sama seperti menuju sesuatu yang semu bagiku.
Tetapi, entahlah. Aku tidak tahu apakah engkau pernah tahu bahwa dalam perjalananku menujumu aku pernah menjadikanmu puisi, agar bersama kata-kata kau bisa abadi(1).
Memang aku akui, setiap perjalanan akan menyisakan ceritanya sendiri. Kadang aku ingin menciptakan tujuan baru dalam perjalanan ini, tetapi rasanya itu adalah pekerjaan sia-sia karena alur ceritaku selalu tentangmu. Ini adalah untuk kali yang kesekian aku memahami terjal yang membentang didepanku, tebing yang curam dan berkabut membuatku tidak tahu apakah aku harus tetap melangkah menujumu. Tetapi aku tetap pada keyakinanku, akan selalu ada ujung jalan saat engkau berhenti disana dan (mungkin) menungguku, akan ada tempat untukku singgah sebentar untuk memutuskan apakah aku akan bersamamu atau akan tetap kembali berjalan sendiri tanpa arah yang pasti (meski sebenarnya aku selalu berdoa untuk bisa tinggal selamanya menghabiskan sisa waktu bersamamu).

Selama engkau belum memilih untuk singgah, berhenti dan menetap disuatu tempat. Aku rasa, aku masih punya waktu menujumu. Aku hanya berdoa kepada TUHAN kita, semoga tidak ada musim gugur, musim salju atau bahkan badai yang menghalangi perjalananmu agar engkau tetap dapat melaju tanpa harus singgah dan berhenti dijalanmu. Dan selama engkau belum memutuskan untuk singgah aku akan tetap melangkah..

Sabtu, 24 Januari 2015

Menghabiskan Malam

Entahlah tetapi malam ini ada cerita yang seharusnya kamu tahu, tentang pohon yang tumbuh sendiri di padang dan seekor burung membuat sangkar di dahannya. Kamu juga harus tahu tentang tunas-tunas muda yang muncul saat musim semi mulai tiba, dan daunnya mulai muncul menjelma hijau diantara ranggas-ranggas yang masih tersisa. Atau juga tentang matahari yang muncul di pagi hari dan dia selalu tepat waktu sekali (pernahkah kau bayangkan jikalau matahari itu seorang lelaki yang selalu menepati janji dan suatu hari nanti engkau diminta menemuinya dan disuruh menunggunya? Aku tahu engkau pasti menanti meskipun waktu semakin lama semakin menghantui, ah tetapi nanti saja atau esok hari kuceritakan kepadamu tentang matahari-itupun jika kamu punya waktu)
Ya, kamu harus tahu semua itu. Sebab sebenarnya sangat banyak yang ingin kuceritakan padamu : Tentang bintang-bintang yang kadang hilang sehingga kita pun linglung dan kadang kehilangan harapan dibuatnya, tentang bunga ilalang yang kalau kering selalu terbang, atau tentang rumput-rumput yang selalu mengering dan menguning di padang gersang. Ya, aku ingin menceritakan kepadamu itu semuanya dikala petang dan kita sedang bersama menikmati senja yang membayang di bawah pohon rindang, tetapi kadang aku tahu kamu tidak punya waktu untukku, padahal aku ingin menghabiskan waktu bersamamu.  Bercerita tentang dongeng-dongeng konyol yang melegenda, menikmati senja yang selalu berakhir gelap di barat sana, menyirami bunga-bunga yang akan mekar di halaman rumah kita, mengomentari berita-berita unik dari tiap belahan dunia, memilih destinasi wisata seperti yang biasa dilakukan orang-orang kaya, menulis puisi bersama, cerita hingga menghabiskan hari-hari yang sudah tentu akan selalu kurang rasanya.
Ya, seandainya saja engkau mencoba memahami itu semuanya. Memahami mengapa gemericik air menenangkan jiwa yang kesepian, mengerti mengapa hujan selalu menyisakan kenangan dalam kesendirian. Mungkin aku tidak perlu bercerita banyak kepadamu tentang malam ini, malam dimana lampu di sekitarku semuanya terasa sangat temaram, malam dimana aku merasa sangat sentimentil dengan sebuah kenangan dan harapan. Malam yang sangat melankolis untuk seorang yang merasa dirinya selalu mencari kehidupan.
Aku memang tidak tahu kapan malam ini berlalu, tetapi aku yakin pasti berlalu. Dan kamu juga harus tahu, malam ini aku melihatmu berdiri di depan pintu membentuk siluet hitam yang kukagumi itu, benarkah itu dirimu?
Aku ragu, ragu pada waktu, ragu pada harapanku, ragu pada pikiranku, ragu pada penglihatanku.
Apakah itu mimpi?
Bukan iu bukanlah mimpi, itu hanyalah ilusi yang kuciptakan sendiri untuk bias kuceritakan padamu juga suatu hari nanti saat kau sudah bersamaku, menemaniku menyusuri jalanan yang menanjak dan berbatu.
Dan aku juga harus memastikan bahwa kau memang menunggu disuatu sisa waktu, lalu menggenggam tanganku dan melangkah bersama dan kita akan diam membisu sepanjang waktu. Tetapi aku dan engkau akan selalu tahu bahwa disetiap tatapan mata kita bertemu akan selalu ada rindu yang menyatu, rindu untuk menghabiskan sisa waktu itu.
Tetapi, entahlah semua yang kutulis ini memang  impianku saja. Sesuatu yang biasa kulakukan saat wajahmu mengganggu pikiranku, padahal sebanarnya aku tahu bahwa waktu masih harus berganti dan berlalu. Tetapi yang belum bisa kujawab sampai hari ini adalah mengapa engkau berdiri di pintu hatiku? Masuklah jika engkau ingin masuk, hatiku terbuka untukmu, pergilah jika ingin pergi sebab sebenarnya engkau menghalangi orang lain untuk masuk (status kakak kelompok rohaniku).
Sebenarnya, aku hanya ingin malam ini cepat berlalu karena semakin lama  malam ini berlalu semakin banyak juga yang ingin kuceritakan padamu, semakin lama aku ingin menghabiskan waktu bersamamu, ah, andai kamu tahu aku menunggu.

catatan kecil

Kadang kita harus belajar untuk tidak mempunyai perasaan, tidak punya air mata, tidak punya hati nurani.
Tetapi apa boleh daya, terlalu menyedihkan rasanya jika kita harus menutup mata, membuat dunia dalam hidup kita sendiri.
Tetapi bagaimana jadinya jika kita tetap tinggal dalam kenyataan yang begini?
Terlalu banyak yang harus di ubah, tetapi teramat sedikit yang mau berubah.  Banyak yang harus dipikirkan, tetapi sayangnya terlalu sedikit pemikir, banyak yang harus dihitung, tetapi rasanya terlalu sedikit yang punya perhitungan.
Kadang aku sendiri heran dengan kenyataan yang kuhadapi, tetap terlalu sedikit orang yang bisa kupercayai untuk berbagi, karena itulah aku mencoba berbagi dengan kenyataan dan waktu sebab mereka itulah temanku. Dan sebenarnya teramat banyak yang ingin kuceritakan, tetapi akau selalu tahu bahwa masih banyak sebenarnya yang harus kudengarkan, ya, karena itulah aku harus mendengar dulu sebelum menceritakan yang sebenarnya.
Sebenarnya, aku tahu semua :
Saat banyak orang bercerita tentang kesenangannya : mereka lupa, orang-orang lainnya sedang dalam kesedihan.
Saat orang dalam glamor masa depan : orang lainnya terjebak dengan kesuraman masa lalu.
Ah, memang menurutku tidak ada yang lebih indah selain berempati, berbagi kasih, berbagi kebahagiaan. Ya, aku ingin mereka juga tahu seperti apa cerahnya masa depan itu, aku ingin mata-mata sayu itu kembali dengan harapan-harapan yang cerah,berbinar memandang harapan diesok hari dan biarlah kepahitan dan pemikiran-pemikiran dalam kesendirian serta kesepian ini kutanggung sendiri sehingga menjadi cerita yang tidak berarti.
Biarlah aku sendiri yang terkubur dalam kebohongan dan kekecewaanku dan mencoba tinggal dalam panggung sandiwara ciptaanku hingga mungkin suatu saat nanti aku mulai muak dengan semua ini dan mencoba meninggalkan kenyataan.
Ya, suatu saat nanti
Aku ingin meninggalkan semua ini
Meghilangkan jejak dalam kenyataan
Sebab aku tidak tau kepada siapa lagi aku harus berbagi
Sebab sebenarnya aku ingin bercerita kepadamu tentang puisi-puisi yang sering tidak selesai
Tentang keinginanku menginjakkan kaki dipuncak tertinggi
Atau juga tentang cerita-cerita fiksi yang selalu membuatku menghabiskan hari.
Lalu aku ingin engkau berkata suatu hari nanti :
“Aku akan menyelesaikan puisimu, menemanimu ke puncak tertinggi bahkan menungguimu setiap hari untuk menghabiskan cerita kita.”

Tetapi, bukankah aku tahu bahwa itu adalah mimpi bodoh yang berlawanan kepada logika? Karena sebenarnya saat aku menutup mata, aku ingin menutup mata dari kebohongan dunia, mengakhiri semua kisah yang tidak pernah ada dan aku akan melangkahkan kaki keudara. Dan lihatlah, aku terbang, terbang dalam anganku sendiri, mengepakkan sayap yang memang tidak akan pernah ada. Aku akan pergi ketempat dimana tidak ada lagi kepahitan dalam hati.

Minggu, 18 Januari 2015

Catatan Sore


Entahlah, sebab setiap dari kita mungkin juga adalah pelupa yang tidak ingat kapan kita mengukir jejak terakhir.
Dan setiap dari kita juga mungkin bukanlah pencerita yang baik, yang dapat bercerita tentang lembah-lembah dan gunung yang kita lewati...
Sudahlah, mungkin setiap dari kita juga mengerti mengapa hujan turun lagi dan jejak kita menghilang disini dan kita akan menyusuri jalan sendiri-sendiri menuju permukaan kehidupan yang bergelombang ini.
Setiap dari kita mungkin akan menikmati ini
hamparan kuning ilalang dan bunga-bunga yang mencoba terbang,
setiap dari kita mungkin akan merasakannya, belaian sepoi angin yang datang dan pergi kala petang membayang.
Ya, setiap dari kita melihatnya. Sejauh mata memandang, hijau terpampang diantara jejak dan jarak berikutnya terbentang.
Tetapi apakah hanya aku yang mengenang setiap tetes hujan yang datang saat cerita lapuk dalam tetes hujan, saat tidak ada sayap untuk terbang.
Entahlah, sebab setiap dari kita mungkin juga adalah pelupa yang tidak ingat kapan kita mengukir jejak terakhir.
Dan setiap dari kita juga mungkin bukanlah pencerita yang baik, yang dapat bercerita tentang lembah-lembah dan gunung yang kita lewati...
Sudahlah, mungkin setiap dari kita juga mengerti mengapa hujan turun lagi dan jejak kita menghilang disini dan kita akan menyusuri jalan sendiri-sendiri menuju permukaan kehidupan yang bergelombang ini.

Surat Musim

Kita bahkan punya musim semi sendiri, punya senja untuk dinikmati. Jadi apa yang perlu diragukan lagi? Biarlah musim gugur dengan musimnya sendiri (juga) musim hujan dengan kenangannya, kurasa kita tidak boleh menyia-nyiakan musim semi ini karena bunga-bunga sudah mulai bertunas dan padang sudah menghijau. Lihatlah, di timur matahari juga sudah mulai membayang. Apalagi yang kau tunggu? Mari genggam tanganku, kita nikmati jalanan setapak ini. Aku yakin bersamaku musim semi ini akan lebih berarti lagi...

Arah Dairi Kedepannya

                                                     Arah Kabupaten Dairi Kedepannya Sebagai penduduk Kabupaten Dairi yang sedang merantau, ...