Jumat, 13 Desember 2013

RENUNGAN AKHIR TAHUN


RENUNGAN AKHIR TAHUN


RENUNGAN AKHIR TAHUN

Siapakah aku? Di manakah aku? Apa yang sedang kukerjakan? Apakah tujuan hidupku? Apakah yang kukerjakan saat ini selaras dengan tujuan hidupku? Apakah aku sadar dengan keberadaanku saat ini? Apakah hidupku telah bermakna? Selayaknya kita renungkan pertanyaan-pertanyaan itu, tepat di malam ketika tahun akan berganti. Menyembunyikan diri kita di dalam pesta pora perayaan dapat menciptakan kebohongan dan penghindaran diri dari segala macam problem yang saat ini kita hadapi.

Tidakkah hidup seringkali terasa membosankan? Hampa dan tak bermakna? Hari-hari dalam kehidupan ini kita lalui begitu saja. Lewat tanpa disadari. Kita berubah menjadi seperti mesin. Dengan letupan-letupan sesaat. Bergerak terus hingga waktu membuat kita aus, berkarat lalu perlahan-lahan rusak dan mati. Tetapi jika kita adalah mesin, apakah gunanya pemikiran kita? Apakah fungsinya kesadaran kita? Tidakkah seharusnya kita jelajahi hidup untuk mencari kebenaran. Untuk membuktikan keberadaan kita di dunia ini. Dan kita dapat menghindari penderitaan dengan menyatakan kejujuran. Mengapa kita harus melarikan diri dengan berpura-pura bahwa segalanya abadi? Mengapa kita harus menyembunyikan duka lara kita masing-masng?

Penderitaan memang dapat terjadi karena hal-hal yang di luar jangkauan kita. Lingkungan kita, orang lain, ketidak mampuan kita atau karena sistim yang membelenggu dengan aturan-aturan yang tidak adil. Tetapi jauh lebih sering, ternyata, bahwa penderitaan kita berasal dari diri kita sendiri. Dari pola pikir kita. Dari keinginan-keinginan kita. Dari nafsu dan ambisi kita. Dari ketidak mampuan kita untuk menilai dan memahami dunia di luar diri kita. Dan dari kegagalan kita untuk mencapai sasaran-sasaran yang kita inginkan. Kita terbui dalam ruang sempit ke-AKU-an sehingga gagal melihat banyak hal di luar dinding ke-AKU-an kita. Banyak hal yang baik pun yang buruk. Yang harum pun yang busuk. Yang indah pun yang jelek. Hidup bukanlah sebuah mimpi. Hidup adalah kenyataan yang mesti dialami bersama dunia seluruhnya. Kita dituntut untuk menyadari hal itu.

Maka tepat di malam tahun baru nanti, cobalah berhening diri. Tengoklah waktu yang sudah silam. Telusurilah keberhasilan dan kegagalan kita. Di dalam keheningan itu renungkanlah pertanyaan-pertanyaan di atas. Semoga dengan demikian, hari baru di tahun baru esoknya akan kita masuki dengan pemikiran baru juga. Serta perbuatan-perbuatan baru. Yang lebih baik. Yang lebih indah. Dan hidup kita pun dapat diperbaharui pula. Pada akhirnya, Selamat Tahun Baru 2014. Semoga Kasih dan Cahaya Tuhan Yesus beserta kita semua. Amin!

A. Tonny Sutedja 


A. Tonny Sutedja
Email: tonny_sutedja@yahoo.com

Mohon hubungi pembuat serta Pondok Renungan (pondokrenungan@gmail.com),
jika anda ingin menyebarkan karya ini.

Kembali Ke Index


Selasa, 19 November 2013

Renungan : Nyanyian sukacita

Nyanyian Sukacita
Oleh Gde Prama

Meminjam penemuan sejumlah riset, manusia tatkala masih bayi tersenyum ratusan kali tiap hari. Begitu menginjak dewasa hanya tersenyum beberapa kali saja. Segelintir orang tua yang menderita bahkan tidak pernah tersenyum. Ini menimbulkan pertanyaan, kemana energi sukacita manusia dibawa pergi oleh waktu?

Tubuh Luar

Presiden Barrack Obama di Amerika Serikat adalah contoh yang baik. Sebelum jadi presiden, tubuh luarnya bercahaya sekali. Di tahun-tahun awal jadi presiden bahkan menerima hadiah Nobel Perdamaian. Tapi di tahun 2013 ini, sulit untuk tidak mengatakan ada cahaya yang meredup di sana.

Ini menghadirkan bahan renungan, ada apa dengan kekuasaan dan kekayaan, sehingga bisa membuat cahaya manusia meredup. Ilmu kedokteran memang menemukan bidang anti penuaan, ahli gizi sudah meneliti tubuh manusia, tapi tetap saja tidak bisa mengerem meredupnya cahaya manusia yang menua. Sejujurnya, cahaya tubuh luar yang meredup tidak saja dialami Obama. Ia dialami banyak politisi, orang kaya, orang berpengaruh. Mantan Menteri Luar Negeri AS Hillary Clinton bahkan harus berhenti di tengah jalan karena sakit.

Sejujurnya, semakin tua manusia semakin ia memerlukan cahaya. Lebih-lebih di depan kematian, tanpa bekal cahaya maka perjalanan berikutnya sangat menakutkan. Sebagaimana kerap terdengar di alam spiritual, ia yang di dalamnya cahaya akan berjumpa cahaya di mana-mana, ia yang di dalamnya kegelapan akan berjumpa kegelapan di mana-mana.

Tubuh Dalam

Itu sebabnya, penekun spiritual mendalam lebih berkonsentrasi pada tubuh dalam. Tubuh luar biasanya dibungkus sesederhana mungkin. Tapi tubuh dalam dari perasaan, persepsi, formasi mental, kesadaran semua dirawat sebaik mungkin. Dan meditasi adalah salah satu cara merawat tubuh dalam agar indah.

Dalam meditasi, apa pun bentuk perasaan (senang-sedih), persepsi (benar-salah), formasi mental (suka-duka), kesadaran dengan segala bentuk dualitasnya, semuanya diberikan jarak yang sama, semuanya disambut dengan senyuman yang juga sama. Sebelum disentuh meditasi, tubuh dalam digenggam dan dicengkram oleh dualitas, kemudian mengalami banyak kekacauan. Begitu disentuh meditasi mendalam, tidak saja genggamannya melonggar, tubuh dalam mulai menghirup hawa segar kedamaian.

Dengan hawa segar kedamaian, lebih mudah bagi tubuh dalam untuk melahirkan cahaya. Dalam cerita para master seperti J. Rumi, Mahatma Gandhi, J. Krishnamurti, Bunda Teresa cahaya itu bahkan masih memancar jauh setelah tubuh luarnya wafat.

Tubuh Rahasia

Tubuh rahasia tentu saja rahasia. Berbahaya membuka rahasia ini ke sembarang orang di sembarang tempat. Itu sebabnya, tubuh rahasia ini diceritakan melalui bahasa-bahasa puitis yang sangat halus. Sehingga hanya dimengerti oleh orang-orang yang di dalamnya juga halus.

Coba perhatikan lirik lagu anak-anak berikut: “Di pucuk pohon cempaka. Burung kutilang bernyanyi. Bersiul-siul sepanjang hari. Dengan tak jemu-jemu. Mengangguk-angguk sambil berseru. Trilili lili lili lili”. Pesannya sederhana, burung damai jadi burung buktinya ia bernyanyi. Pohon damai jadi pohon, makanya ia hening. Bila burung damai jadi burung, pohon damai jadi pohon, kenapa banyak manusia tidak damai jadi manusia?

Dalam bahasa puitis Mundaka Upanishad: “From joy springs all creation. By joy it is sustained. Toward joy it proceeds. And to joy it returns“. Di tingkat tubuh rahasia (baca: pencerahan) dari awal yang tidak berawal hingga akhir yang tidak berakhir, kehidupan adalah nyanyian sukacita.

Renungan : Jejaring Kesembuhan

Jejaring Kesembuhan
Gde Prama

Tidak ada manusia yang berdoa agar sakit. Kendati demikian, di setiap pojokan kehidupan hadir penderitaan. Bisa dimaklumi kalau organisasi kesehatan dunia WHO meramalkan, di tahun 2020 sakit mental akan jauh lebih mengkhawatirkan.

Daun Kering Rasa Sakit

Di Barat sana di mana ilmu pengetahuan dan teknologi tumbuh demikian pesatnya, sudah mulai banyak pakar kesehatan yang menyadari bahwa sakit fisik serupa daun kering di permukaan. Tatkala tubuh sakit, memang terjadi ketidakseimbangan kimiawi di dalam, yang membuat dokter khususnya mengintervensinya dengan obat kimia. Sesuatu yang layak dihormati.

Sayangnya, intervensi kimiawi saja kerap bernasib serupa daun kering yang hanya disirami daunnya saja. Batang apa lagi akarnya jarang sekali disentuh oleh langkah-langkah kesembuhan. Ini yang menjelaskan, bahkan di negara seperti Amerika Serikat pun sakit mental menakutkan. Riset kebahagiaan dunia di tahun 2012 menunjukkan, AS bahkan tidak masuk dalam sepuluh besar bangsa yang bahagia.

Padahal perusahaan farmasi, penelitian farmasi, dokter semuanya berlimpah di sana. Ini menghadirkan bahan renungan, kita memerlukan pengetahuan lebih dalam dari sekadar daun berupa sakit fisik.

Batang Pohon Kering Emosi

Dulu sekali, biologi dan psikologi adalah dua disiplin yang sulit ketemu. Tapi belakangan, hubungan keduanya sangat erat. Meminjam penemuan psikoterapis berpengalaman dari Washington bernama Kari Joys, ketegangan dalam tubuh terkait erat dengan ketidakseimbangan emosi seseorang.

Ketegangan di perut, dekat dengan rasa marah dan takut. Ketegangan di dada terkait dengan kesedihan. Ketegangan di punggung belakang berhubungan dengan rasa frustrasi. Terang sekali kelihatan, ada bibit-bibit emosi dalam rasa sakit fisik.

Intervensi kimiawi lewat obat memang membantu. Seperti menyirami daun kering, air yang disiramkan tentu saja membantu. Tapi ia sangat sementara sekaligus sangat di permukaan. Apa yang dilakukan psikoterapi berpengalaman seperti Kari Joys, ia mulai mengintegrasikan pengetahuan dan spiritualitas. Rasa sakit fisik daunnya, ketidakseimbangan emosi batangnya, akarnya adalah keterhubungan spiritual.

Akar Berupa Keterhubungan Spiritual

Fritjof Capra di fisika, Gregory Bateson di antropologi, Kari Joys di psikologi hanya sebagian kecil ilmuwan yang sudah berjalan jauh dalam mengintegrasikan pengetahuan dan spiritualitas. Tesis orang seperti ini mirip dengan salah satu judul buku Fritjof Capra yakni “The Hidden Connections“. Ada jejaring tersembunyi yang menghubungkan semuanya.

Dalam konteks kesembuhan, jejaring yang menyembuhkan itu bernama sukacita. Perhatikan para sahabat yang terkena penyakit mental kronis, mereka tidak terhubung dengan jejaring kesembuhan yang ada di alam. Akibatnya sangat jauh dari sukacita. Itu sebabnya, meditasi dan penyembuhan spiritual lainnya, kebanyakan terfokus pada upaya agar “terhubung” dengan kekinian.

Di meditasi khususnya, sangat ditekankan tiga langkah penting: “terima, mengalir, tersenyum”, terutama agar segera terhubung. Orang Zen menggunakan medium bertaman, juga karena alasan keterhubungan. Orang Tibet dan Bali ritualnya sebagian menghidupi makhluk di alam bawah, juga karena alasan keterhubungan. Di tingkatan ini, berlaku ungkapan sederhana: “memaafkan adalah bibit kesembuhan, menerima hidup apa adanya adalah menyirami bibitnya dengan air, terhubung sempurna dengan saat ini itu bunga kesembuhan”.


sumber : https://www.facebook.com/maheswara.mahendra?fref=ts

Renungan : Nyanyian Harmoni

Nyanyian Harmoni
Oleh Gde Prama

Mitologi adalah kumpulan cerita tua. Ia bahkan lebih tua dari agama. Melalui seleksi jujur bernama waktu, kemudian yang tersisa bukan sembarang cerita. Ia serupa batu berumur jutaan tahun yang sudah melewati segala macam cuaca. Hanya batu dengan kualitas terbaik yang masih tersisa. Cuman, seperti menafsirkan mimpi - salah satu definisi mitologi adalah mimpi kolektif - ia memerlukan kepekaan, keterhubungan sekaligus seni. Bila dimaknakan oleh kepekaan, keterhubungan, seni, maka mitos-mitos itu bisa membuat hidup jadi nyanyian harmoni.

Tatanan Kosmik

Siapa saja yang lahir dan bertumbuh di Timur mengalami, orang tua melarang anak-anak duduk di atas bantal. Dalam logika kekinian, ia mengundang senyuman sinis. Padahal, tetua menyisakan pesan tentang tatanan sosial dan spiritual. Bantal itu temannya kepala, bila ia dijadikan alas pantat, maka terjadi kekacauan kosmik. Ia mirip dengan letak mulut dan mata di kepala. Artinya, selalu berbicara dan memandang dengan kemuliaan-kemuliaan. Begitu orang bicara dan memandang secara kotor (seperti alas kaki), maka kekacauan kosmik terjadi.

Amerika Serikat adalah guru yang baik. Di sana manusia suka sekali menaikkan kaki ke atas meja selama ratusan tahun. Dan lihat angka statistiknya, kekacauan kosmik sangat menakutkan di sana. Konsumsi pil tidur per kapita tertinggi di dunia, angka perceraian tinggi dan menaik terus, cerita anak-anak stres yang melakukan penembakan ke teman di sekolah sangat menakutkan. Laporan dunia tentang kebahagiaan tahun 2012 melaporkan, AS bahkan tidak masuk dalam sepuluh besar bangsa bahagia. Di sebuah sekolah menengah atas di Brooklyn, murid ditanya mau jadi apa di masa depan? Lebih dari dua pertiga menjawab mau jadi selebirits. Hanya sekadar terkenal, sebentuk kehidupan yang keropos dan rapuh.

Kehidupan perkotaan dengan gedung-gedung tinggi adalah contoh lain. Zaman dulu, tempat tertinggi selalu diisi oleh tempat suci. Sekarang, di gedung-gedung tertinggi berkantor orang-orang yang hanya memikirkan uang dan kekuasaan. Perhatikan, betapa kacaunya tatanan kosmik di kota-kota besar dengan gedung tinggi. Perampokan, pemerkosaan, pembunuhan adalah cerita rutin setiap hari.

Merawat Kehidupan

Cerita tua ke dua, di Timur sering dipesankan hati-hati menabrak kucing. Di Bali khususnya, tetua berpesan bila kendaraan menabrak kucing, ambil kucingnya kemudian dikubur di tempat terhormat. Ini mirip dengan kisah tua para sahabat di Barat, yang meyakini bahwa kucing adalah sebentuk malaikat. Di Prancis Selatan serta Yunani Utara, arkeolog menemukan gua panjang dan dalam yang berumur puluhan juta tahun. Di sana diukir banyak ukiran binatang secara indah dan sakral. Bila di zaman kita Tuhan digambar dengan tubuh manusia - di Hindu disebut Avatara - di zaman itu Tuhan divisualisasikan dengan tubuh binatang.

Dulu sekali, di zaman sebelum pertanian, manusia diselamatkan hidupnya dengan memakan daging. Di zaman itu juga beredar mitos, pengetahuan dan kebijaksanaan diberikan kepada binatang, bukan kepada manusia. Dibekali pengetahuan dan kebijaksanaan mendalam itulah, kemudian binatang merelakan tubuhnya untuk pertumbuhan manusia.

Dengan berbagi cerita tua ini, tentu bukan maksud tulisan ini agar manusia menyembah binatang. Sekali lagi bukan. Tapi, rasakan dalam-dalam, tidak saja manusia ingin damai, binatang juga ingin damai. Bila binatang dan pepohonan dilukai, rasa sakit yang sama juga akan mengunjungi manusia. Dengan rasa seperti ini, lebih mungkin manusia membuat hidupnya sebagai nyanyian harmoni.

Akar Tua Peradaban

Di semua agama, generasi baru amat berjarak dengan upacara. Sebagian bahkan melakukan penghakiman berlebihan. Siapa saja yang menyempatkan diri mempelajari upacara, tidak saja dengan logika juga dengan rasa, ada sejumlah pesan penting di balik upacara. Dari buku suci tersembunyi, sarana keterhubungan dengan Diri yang lebih besar, sampai dengan niat tetua agar masyarakat berkumpul membentuk tatanan sosial yang mulia.

Upacara sebagai buku suci tersembunyi memang sudah diganti oleh kertas, komputer, internet, dll. Tapi sebagai upaya untuk membuat tatanan sosial yang lebih mulia, ia belum tergantikan. Melalui upacara manusia berkumpul dengan tingkat pengendalian diri yang lebih baik dari biasanya, memikirkan kehidupan yang mulia. Demikian juga upacara sebagai sarana terhubung dengan alam tidak terlihat, ia belum sepenuhnya tergantikan. Efek upacara pada subyek yang disembah memang bisa diperdebatkan, tapi ia juga membuat penyembah semakin terhubung, rendah hati, damai.

Dengan penuh permintaan maaf pada sahabat yang anti upacara, menghentikan upacara serupa dengan membakar salah satu akar tua peradaban. Dan bila akarnya terbakar, pohonnya juga terbakar. Ini yang menjelaskan, di tempat-tempat di mana manusia jarang terhubung dengan Diri yang lebih besar melalui upacara, terasa hawa yang kering dari kedamaian. Eropa secara umum adalah Guru yang baik dalam hal ini. Di sana, manusia yang tertarik datang ke gereja sangat sedikit. Krisis keuangan Eropa membuka rahasia, hidup bermakna jauh lebih dalam dari sekadar mengumpulkan uang. Dengan menceritakan kembali semua cerita tua ini, banyak hati yang sedang disentuh. Logika, teologi, filsafat memang sebagian cara menjelaskan kehidupan. Dan bersama sastra, rasa, kepekaan, keterhubungan, cerita-cerita tua ini sedang merajut kehidupan menjadi nyanyian harmoni, yang terhubung dengan akar masa lalu yang jauh.

sumber :https://www.facebook.com/maheswara.mahendra 

Renungan : Nyanyian Jiwa

Nyanyian Jiwa

Oleh : Gede Prama

Seorang anak muda Bali bertanya secara amat menyentuh hati: ada apa dengan orang Bali?. Di pulau sendiri sudah mulai ada yang tidak betah (dalam beberapa kejadian, bahkan setelah menjadi mayat pun masih disakiti orang). Di luar Bali – ingat kisah desa Balinuraga di Lampung tahun 2012 serta kejadian di Sumbawa awal 2013 – orang Bali dikejar, diusir, sebagian ketakutan lari ke hutan, bahkan ada yang meninggal. Sehingga sambil menahan tangis, anak muda ini bertanya, ke mana kemudian kita mesti berlindung?

Nutrisi Jiwa

Sejarahwan agama Karen Armstrong yang meneliti pencarian manusia akan Tuhan selama empat ribu tahun, dan menuliskan hasilnya dalam buku Hystory of God, jernih sekali dalam hal ini. Di zaman keemasan dulu – di mana hati manusia masih bersih jernih – sejumlah orang suci bercakap-cakap langsung dengan Tuhan. Abraham dan Musa di Kristianitas, Arjuna di Hindu berdialog dengan Tuhan. Tapi di zaman ini (zaman kapak) semua orang suci dihaluskan dengan penderitaan.

Mahatma Gandhi ditembak, Yesus Kristus disalib, Marthin Luther King Jr. ditembak, Nelson Mandela dipenjara selama 27 tahun, YM Dalai Lama kehilangan negerinya tatkala berumur belasan tahun, Thich Nhat Hanh pernah diusir dari negerinya. Itu sebabnya, Pangeran Siddharta tatkala pertama kali keluar dari istana, Guru rahasia di alam memberi pelajaran pertama dan paling utama: “dukkha”. Sehingga kembali ke cerita kesedihan yang sedang melanda banyak orang Bali, penderitaan bukan hukuman Tuhan, bukan juga godaan setan, melainkan amplas-amplas yang amat menghaluskan. Meneruskan pesan Guru dari dalam: “all spiritual awakening is preceded by the dark nights of the soul“. Semua kebangkitan spiritual diawali oleh malam-malam gelap bagi sang jiwa. Dan tanda utama malam gelap bagi jiwa adalah penderitaan.

Serupa mengangkat beban berat di pusat kebugaran, maka otot-otot badan akan semakin kuat dan sehat. Otot-otot jiwa serupa. Asal penderitaan dialami secara tulus, tekun, ikhlas ia juga memperkuat dan mempersehat otot jiwa kemudian. Seorang murid meditasi pernah bertanya hubungan antara meditasi dengan karma. Dalam cerita banyak orang yang meditasinya tekun, meditasi – salah satu hasil meditasi adalah kemampuan untuk menderita secara tidak terbatas – membuat karma buruk khususnya datang tatkala kita sudah siap. Di tingkatan yang lebih dalam, sebutlah karena kekhilafan seseorang melakukan banyak pembunuhan (contohnya Angulimala), sehingga karmanya ia harus terbunuh, tapi meditasi dan berkah Guru membuat Angulimala hanya dilempar batu. Dan yang terdalam (contohnya Jetsun Milarepa), praktek meditasi mendalam yang berjumpa berkah Guru membuat bahkan kesalahan membunuh pun bisa dimurnikan. Lebih dari termurnikan, Milarepa mengalami pencerahan mengagumkan. Lewat cerita ini terlihat terang benderang, penderitaan – di tangan manusia yang meditasinya tekun, tulus, ikhlas adalah nutrisi (vitamin) jiwa.

Wewangian Jiwa

Dalam jiwa yang sudah bergizi cukup, kemudian kehidupan menunjukkan wajah yang berbeda. Kerja sebagai contoh, bagi jiwa yang kekurangan gizi (mengeluh, protes, tidak pernah puas) adalah serangkaian keterpaksaan yang membosankan. Sebagian orang bahkan dibikin sakit dan berpenyakit oleh kerja. Bagi jiwa yang bergizi cukup (tulus, tekun, ikhlas), kerja adalah Tuhan yang imanen sedang bertransformasi menjadi Tuhan yang imanen. Petani mengolah lahan (Tuhan) menjadi buah-buahan (Tuhan). Pedagang menyalurkan buah (Tuhan) ke konsumen (Tuhan). Lebih-lebih bila dilakukan dengan bahagia – karena kebahagiaan adalah bentuk puja terbaik – maka kerja adalah puja sekaligus nyanyian jiwa.

Di kedalaman penggalian meditasi seperti ini, pernah terdengar pesan indah sekali: “Similar to flower which is fragrant, the language of the enlightened so touching, because language is the fragrance of the soul“. Serupa bunga yang wangi, bahasa mahluk tercerahkan demikian menyentuh (halus, sopan, indah) karena bahasa adalah wewangian yang disemprotkan dari kedalaman jiwa. Artinya, tidak saja kerja menjadi nyanyian jiwa, bahasa juga bagian dari nyanyian jiwa.

Sebagaimana tetua Jawa, tetua Bali juga hati-hati sekali dalam menggunakan bahasa, apa lagi bertindak. Lebih-lebih bahasa orang tua ke anak-anaknya yang bisa menjadi kenyataan. Demikian juga bahasa pemimpin dan media (keteladanannya, bahasa tubuhnya, pilihan kata, kelembutan dalam mengungkapkan bahasa, kesesuaian dengan tempat dan waktu), ia ikut mencipta kehidupan. Makanya tatkala ada remaja Bali yang prihatin dengan Bali kekinian kemudian marah, Guru di dalam berpesan: “hold your opinion loosely“. Bibit kekerasan paling berbahaya tidak berasal dari perbedaan agama dan ras, tapi karena manusia dicengkram oleh pendapatnya sendiri. Sehingga melonggarkan cengkraman pendapat sendiri, adalah sebuah tugas meditatif penting di zaman ini. Caranya, apa pun yang terjadi tugas seseorang hanya menyaksikan. Seperti pesan dalam guided meditation: pikiran dan perasaan boleh muncul dalam bentuk apa saja, benar-salah, senang-sedih, baik-buruk tugasnya meditasi hanya satu yakni saksikan, saksikan, saksikan. Setelah longgar dari cengkraman pendapat sendiri, kemudian baru bisa memberi hadiah berupa pengertian ke orang lain.

Mengerti bahwa orang jahat tidak berdiri sendiri. Ada orang tua yang masih bertumbuh, ada sekolah yang belum tertata, ada pemimpin yang pelit sekali memberi tauladan, ada pemberitaan media yang penuh kekerasan dan permusuhan, ada iklan yang menggoda agar keinginan naik dan naik lagi, ada lingkungan beracun, yang semuanya membuat mereka jadi jahat. Di kedalaman pengertian yang dalam terlihat, sebagian besar orang jahat jadi jahat lebih karena menjadi “korban” keadaan bukan aktor. Tidak ada orang jahat yang meniatkan dirinya menjadi jahat. Sebagai contoh, studi-studi mendalam tentang kaum fundamentalis di banyak negara menunjukkan, kaum fundamentalis beranggapan bahwa dirinya akan diserang. Ini adalah hasil dari lingkungan yang terlalu bersaing dan kompetitif. Mempelajari penemuan ini, maka kemarahan – apa lagi serangan – hanya akan memperkuat anggapan bahwa mereka benar-benar akan diserang. Sebagai hasilnya, kehidupan kemudian bernasib seperti api yang mau dipadamkan dengan ilalang kering.

Pelajaran terpenting yang muncul dari sini, pengertian, kasih sayang, persahabatan itulah yang menyembuhkan baik pihak penyerang maupun yang diserang. Dengan pengertian, kasih sayang, persahabtan kita ikut memberi nutrisi pada jiwa masyarakat. Bersama-sama pada akhirnya kita melantumkan nyanyian jiwa. Menjawab pertanyaan amat menyentuh hati di awal tulisan ini tentang tempat berlindung, melalui cara ini manusia sedang berlindung pada cahaya (teja, surya, jiyoti) yang ada di dalam diri.


sumber : https://www.facebook.com/maheswara.mahendra

Rabu, 23 Oktober 2013

Batak Bersatu Dalam Warisan Nilai

Nikolas Simanjuntak[1]

Niko simanjuntak

Batak Bersatu Dalam Warisan Nilai

Batak ‘bersatu’ saat ini terasa lebih kental bernuansa entertainment romantika nostalgia kerinduan suasana rural agraris yang stabil di masa lalu. Itu bagi mereka yang lahir di tanah Batak dan kini menjadi urban migran hidup diaspora di perkotaan modern. Generasi terkini di era SMS-internet-gadgets Batak modern, justru sedang mengalami ancaman punah dalam dua-tiga generasi dari sekarang. Lalu, warisan nilai-nilai kebatakan apakah yang masih tersisa untuk mempertautkan (inter-koneksi) Batak masa lalu dengan ‘generasi digital’ terkini yang terancam punah dari akarnya?

Batak “bersatu” untuk apa?

Tahun 1824 adalah tonggak awal pengetahuan kita mengenai Batak di masa lalu. Di sekitar tahun itu dibuat Traktat London sebagai perjanjian transaksi penyerahan kekuasaan wilayah Tapanuli (sebutan tanah Batak di masa itu) dari Belanda kepada koloni Inggris, yang diwakili oleh Stamford Raffles selaku Gubernur Jenderal. Seluruh tanah Batak di masa itu dan sebelumnya adalah total terra incognita, dunia yang belum terjamah kemajuan Barat dan masih benar-benar splendid isolation. “Di masa itu, tak seorang Batak pun sadar bahwa sukunya telah ‘diperdagangkan’ oleh orang-orang yang belum dikenalnya, yakni bangsa Belanda dan Inggeris. Baik Belanda maupun lnggeris juga tidak tahu manusia-manusia yang bagaimana menghuni daerah-daerah cakupan traktat itu.” (Dr.A.B.Sinaga, Mgr., 2007).

Notasi tahun sejak 1824 dan sesudah itu, kini kita ketahui sebagai awal catatan tertulis situasi ‘kesejarahan’ tanah Batak yang kita warisi saat ini. Diantaranya, telah jadi referensi babon bagi kita, bahwa Burton dan Ward, misionaris Inggeris menetap di Silindung pada 1824 dan berhasil menerjemahkan sebagian Kitab Suci ke dalam bahasa Batak. Upaya ini kemudian dilanjutkan oleh Munson dan Lyman (dari Boston, USA). Tetapi dalam perjalanan ke pedalaman, mereka terbunuh di Sisangkak, Lobupining, 28 Juli 1834. Lalu di tahun 1851, H.N. Van der Tuuk, ahli bahasa (filolog) tiba di Sibolga dan pindah ke Barus pada tahun 1852. Dia berhasil menerjemahkan Alkitab ke dalam bahasa Batak. Pada tahun 1862 di Parausorat, tibalah Pdt. I.L. Nommensen, misionaris muda yang menjadi “Apostel di Tanah Batak”. Dan kemudian, pada 7 Nopember 1863, dia sampai di daerah berlumpur aliran sungai Sigeaon, Tarutung, pada usia 30 tahun. Di tempat ini ia berikrar “Tuhan, inilah tempat yang kuimpikan. Biarlah saya mempersembahkan hidupku buat mereka (Batak).”

Semua notasi tahun di sekitar dan sesudah itu, hemat saya (NS), bisa dikatakan sebagai catatan mashab the big man history, yakni sejarah di sekitar orang besar atau di sekitar kekuasaan dan istana tentang Sumatera Utara dan khusus tanah Batak. Diantaranya, perang Paderi (1835), perang Sisingamangaraja (1890-dst), perlawanan rakyat Sunggal di Sumatera Timur, dan sebagainya.

The big man history seperti di atas itulah, hemat saya, yang kita warisi kini menjadi referensi pengetahuan tentang ‘kesejarahan tertulis’ Batak dan Sumut hingga saat ini. Akan tetapi, pertanyaan besar yang seakan jadi misteri: mengapa dan ada apa dengan catatan sejarah sosial orang-orang biasa (history of the ordinary people) tentang Batak? Apa yang terjadi pada tahun-tahun sekitar mulai dikenal sistem pertanian dengan irigasi? Padahal, era inilah tonggak awal peradaban yang memutus rantai ribuan tahun budaya meramu di wilayah splendid isolation. Bagaimana situasi era masa barter sebelum masyarakat Batak dan Sumut mengenal jasa pertukaran dalam bermata-pencaharian (sosio-eko-geografi)? Bagaimana sejarah sosial di sekitar pembentukan usaha perkebunan tembakau, karet, dan kelapa sawit di daerah pantai timur? Apa yang membuat begitu aman dan mudahnya segala usaha korporasi itu dan usaha perminyakan di sekitar Pangkalan Berandan di era 1800-an setelah bangkrutnya VOC? Situasi sosio-ekogeografi apa yang terjadi di sekitar berlakunya Agrarische Wet 1870 pada masa para pejabat kolonial mulai masuk kampung-kampung mengukur setiap jengkal tanah warga? Seberapa parah siksaan dan derita ringkih nenek moyang kita, di saat mereka ‘kerja paksa’ membuka hutan untuk membangun infra stuktur-keras sarana jalan dan persawahan, di kota dan pedesaan yang kita nikmati saat ini? Penelitian ilmiah apa dan untuk tujuan apa yang dilakukan oleh sederet ilmuwan Belanda/Eropa di Sumut dan Batak setelah era 1850-an, seperti Junghun, van Vollen Hoven dengan murid-muridnya, van Bemmelen, dst.?

Sederet sejarah sosio-ekogeografi itu masih gelap bagi generasi terkini karena belum diungkap secara umum. Lalu, apakah generasi Batak modern akan ‘dipaksa’ mewarisi sejarah para pahlawan, yang di sebelahnya mau merawat permusuhan abadi, antara pemenang dan pecundang? Bagaimana ‘kita bersatu’ sebagai Batak dengan warisan modal pengetahuan, yang ternyata untuk ‘kepentingan orang lain’? Bagaimana kita memahami nenek moyang kita Batak, yang belum kita kenal warisan apa sesungguhnya yang akan kita lestarikan sebagai turunan mereka (le mort saisit ‘l vif, yang telah wafat menguasai orang yang masih hidup, para ahli warisnya)?

Sosio-geografi splendid isolation tanah Batak

Gambaran sosio-geografi yang bagaimanakah splendid isolation tanah Batak pada era sebelum Agrarishe Wet 1870? Boleh dikatakan bahwa segala narasi kisah tentang asal-usul orang Batak pertama sampai dengan kisah marga-marga dst., adalah tutur lisan berantai oleh moyang kita yang tidak/belum berbudaya baca-tulis. Kebenaran fakta kisah itu bukan reportase berita, seperti laporan wartawan media saat ini. Juga pasti, itu bukan hasil kajian penelitian ilmiah. Paling maksimal semua narasi kisah itu dalam Ilmu Budaya ataupun Sastra disebut Folklore, yang berarti sebagai “cerita rakyat yang berisi ajaran moral yang baik menurut tradisi atau adat-istiadat masyarakat bersangkutan.” Sebab, jika dirunut dari hasil temuan arkeologis yang dipadu kajian epigragfis dan ilmu sejarah sebagai referensi dasar, maka secara hipotetis diperhitungkan keberadaan orang Batak asal adalah di sekitar tahun 1300. Era masa itu adalah pasca mega tsunami yang menenggelamkan peradaban kota internasional emporium Barus pada tahun 1200. Hancurnya peradaban di Barus kuno itu, menurut referensi Barat, dikatakan karena serangan pasukan Gargasi. Referensi ini menjadi ramuan gabungan antara Folklore dan catatan perjalanan. Dan sesudah itu, tiada peninggalan apa pun yang bisa dirunut tentang peradaban tanah Batak.[2]

Detil kisah fakta peristiwa dengan gambaran situasi konteks sosio-geografis era abad ke-13 sampai dengan tahun 1800-an di dalam narasi “sejarah Batak” yang beredar saat ini, sungguh sangat mudah sekali dipatahkan logikanya dari segi rasional ilmiah era modern, jika narasi itu bukan Folklore. Untuk itu, mutlak harus dilakukan tafsir teks terhadap konteks situasi (hermeneutik). Generasi Batak terkini pastilah sudah modern rasional, berpengetahuan dari sekolah, bahkan sampai di perguruan tinggi dengan capaian akademis tertinggi.

Keseharian hidup mereka generasi kini bergumul dengan ragam berita media massa tertulis dan elektronik. Alat mainan mereka adalah SMS-internet-facebook di laptop dan gadgets. Mereka inilah ‘Generasi Digital’ yang dikenal sebagai Batak modern generasi internet-gadgets masa kini. Semua alat modern itu tidak pernah dikenal, bahkan tak pernah ‘kan terbayangkan oleh moyang kita, Batak asal splendid isolation yang diperkirakan hidup di sekitar tahun 1300-an.

Kini, dari berbagai referensi ilmiah di era modern rasional, telah mudah ditelusuri oleh generasi Batak modern terkini untuk mengetahuinya. Ternyata, setelah ratusan tahun era VOC yang kemudian bangkrut pada 31 Des 1799, lalu menyusul masa pemerintahan kolonial Belanda di tahun 1800. Barulah di tahun 1824, orang-orang Eropa/Belanda mencatat, seluruh daerah tanah Batak sebagai wilayah yang tertutup isolasi rapat (splendid isolation), karena keadaan alam rimba belantara dengan beragam hewan buas dan ganasnya jurang lembah curam pegunungan yang tertutup rapat. Antar masyarakat kampung (huta) yang satu dengan yang lain, tertutup gundukan tanah tinggi dan pepohonan merapat, sehingga antar mereka tidak berkembang relasi sosio-ekonomis, bahkan selalu saling curiga sebagai musuh.

Imajinasi kita pelaku modern saat ini harus diputar-ulang keluar dari gambar situasi sosio-geografis tanah Batak pasca-kemerdekaan RI, agar kita bisa merasakan rangkaian afeksi peristiwa di dalam narasi itu. Budaya era zaman di dalam kisah ‘narasi sejarah’ atau folklore Batak, hampir pasti masih meramu dengan sistem barter dalam bermatapencaharian. Mereka belum mengenal pola pertanian dengan irigasi dan jasa relasi sosio-ekonomi. Juga pasti, belum ada sarana jalan penghubung yang lancar antar kampung, karena semua infrastruktur keras itu baru mulai dibangun setelah tahun 1800-an di masa pemerintah kolonial, puluhan tahun setelah runtuhnya VOC. Situasi zaman itu hampir pasti, mirip dengan suku-suku primitif Amazon di Amerika Latin atau suku primitif lainnya dalam acara TV National Geographic dan Discovery Channel, Meet the Natives, yang di era global masa kini telah menjadi tontonan hiburan.

Narasi kisah ‘sejarah orang Batak’ hampir pasti berupa “petualangan sarat bahaya” di masa sebelum pemerintahan kolonial Hindia Belanda (1800an). Berarti, semua narasi itu ada di masa sebelum kolonial yang pasti juga tanpa ada pengaruh VOC dan suku luar ke wilayah tanah Batak, yang terisolasi hutan lebat alam pegunungan yang dingin menusuk tulang di pagi, sore, dan malam hari. Dalam situasi sosio-geografi itulah, nenek moyang Batak sehari-hari bertualang menembus belantara raya bertabur ancaman bahaya alam dan hewan buas dari satu huta ke huta yang lain, dari lembah yang satu ke lembah yang lain di seputar danau Toba.

Bagaimana mereka menyebar ke berbagai daerah ke luar dari wilayah sekitar danau Toba? Hampir pasti situasi historisnya di zaman itu, sudah masuk era penjajahan dan penindasan yang ringkih dengan kerja paksa oleh pemerintahan kolonial, untuk membangun jalan raya dan merambah hutan menjadi daerah persawahan, perladangan, perkebunan, dan perkampungan (huta) yang kita nikmati di zaman ini. Tetapi lagi-lagi, semua detil fakta peristiwa di dalam narasi migrasi suku dan sub-suku (tribes) itu, tidak bisa dibuktikan sebagai laporan wartawan atau penelitian ilmiah, melainkan benar-benar sebagai Folklore, cerita rakyat yang mengandung moral kultural, nilai tradisi unik, karakter kepribadian dan kekeluargaan khas, untuk diwariskan kepada semua turunannya di masa kini dan masa depan.

Warisan Nilai-nilai Kebatakan

Setiap pewarisan selalu berarti “menghidupkan kembali” kenangan sangat kuat (memoria) yang menggetarkan dorongan bergemuruh dalam sikap hati (tremendum et fascinossum) agar aktif bersikap-tindak. Proses pewarisan itu sekaligus menjadi transfer kuasa, karena pewaris sebagai leluhur yang telah meninggal dunia, masih menguasai mereka semua ahli waris yang masih hidup (le mort saisit l’vif). Maka, warisan leluhur kita orang Batak harus bisa tampak nyata berbentuk peninggalan yang bernilai tinggi dan luhur mulia untuk diteruskan ke masa yang akan datang.

Warisan apakah dari leluhur kita moyang Batak, yang bernilai luhur tinggi dan benar-benar baik serta bermanfaat untuk diteruskan bagi generasi kini dan yang akan datang? Untuk itu, kita ahli waris di zaman modern, harus menatap ke depan dengan memposisikan masa lalu sebagai bahan yang sungguh amat penting bagi pembelajaran di masa akan datang. Menanggalkan masa lalu yang tidak bernilai untuk masa depan, memaafkan segala yang kita nilai kini sebagai kesalahan dan kekeliruan di masa lalu (forgive but not to forget). Itu persis sejalan dengan nilai tradisi asli Batak: “Sude do hinauli na denggan na burju ingkon siingoton, alai sude sahit dohot jea ingkon do bolongkonon”. Dengan begitu, warisan yang bisa kita petik dari narasi Folklore ‘sejarah Batak’, yang bernilai kultural tradisional khas Batak alami (natural particularity), hanya bisa dirunut dari upaya tafsir modern terhadap narasi kisah tersebar yang telah umum diketahui saat ini.

Tafsir apakah yang bisa dipetik dari narasi kisah itu sebagai Folklore yang bernilai luhur tinggi untuk masa kini dan ke depan? Upaya menafsirkan itu berarti juga cara merasionalkan segala mitos, atau demitologisasi, narasi ‘sejarah Batak’ agar generasi terkini dapat memperoleh manfaat pemahaman rasional dari nilai kultural tradisional khas Batak (cultural identity), seraya menaruh rasa hormat kepada si penutur kisah. Sekurang-kurangnya ada 7 (tujuh) butir berikut ini, yang dapat disebut untuk dikembangkan lagi secara kreatif inovatif, bagi kemaslahatan kita bersama Batak modern generasi kini, antara lain sebagaimana berikut ini.

Pertama. Sikap hormat sepenuhnya kepada orang tua yang masih hidup dan yang sudah meninggal, terutama hormat bagi nenek moyang orang tua dan semua anak turunannya. Urutan asal pohon silsilah yang jelas, harus terus dicatat untuk dipelihara dan diturunkan ke putra-putrinya. Karena tanpa itu, bisa jadi timbul masalah serius, jadi tercerabut dari akar pohon asal-usul budaya keluarganya sehingga disindir sebagai Dalle [mengaku diri Batak tapi tak paham tentang Batak].

Kedua. Kearifan lokal Batak dengan identitas kultur yang partikular unik dan bernilai luhur tinggi, sebagai local genius dalam sistem relasi religi sosial demokratis Dalihan Na Tolu: somba marhula-hula, manat mardongan tubu, elek marboru. Hula-hula (pihak marga isteri, ibu sendiri, ibu ayah) di setiap keluarga Batak dan semua saudaranya, hingga kini masih sangat dihormati (somba). Begitu juga semua keluarga hula-hula selalu dengan penuh kasih (elek) kepada Anakboru yang menghormatinya selaku Hula-hula. Diantara sesama dongan tubu (sesama keluarga semarga sendiri), harus selalu saling super hati-hati (manat-manat) penuh pertimbangan akal sehat dalam setiap relasi, agar jangan pernah sampai timbul selisih paham jadi masalah yg serius. Demokrasi yang egaliter, transparan, dan akuntabel, sudah berakar dalam praktik kultur asli Batak, bukan lagi sekadar konsep.

Ketiga. Kepribadian pekerja keras berkarakter ulet, berdaya-tahan, tak kenal menyerah, sampai mampu mempertahankan diri dan seluruh keluarganya dari segala ancaman marabahaya fisik dan non-fisik untuk hidup berlanjut (sustainable survival). Karakter ini sudah dikenal luas oleh masyarakat nusantara, sebagai Batak yang keras, tegas, eksplosif, ulet, pekerja yang rajin, dst… Tapi sering juga salah tingkah, karena jadi tampak garang, sangar, tanpa basa-basi diplomasi, hingga bahkan bisa jadi diberi cap kasar (streotype). Tampilan kemasan luar “tampak kasar” ini harus diperbaiki terus-menerus oleh generasi Batak era modern kini dan ke depan. Namun, jangan sampai menghilangkan mentalitas jatidiri kepribadian berarakter yang sudah terpatri dan dikenal umum selama ini.

Keempat. Daya mampu spiritualitas dan komunikasi batin yang sangat kuat dan mendalam, menyatu-padukan kekuatan metafisis alam semesta (holistic resources spirit) sebagai dasar hidup rohani dengan terus mengasah olah-batin mondar-mandir ke daya olah-pikir. Pastilah, setiap moyang Batak yang hidup di isolasi alam ganas itu memiliki kekuatan fisik dan spiritual yang hebat dan mengagumkan. Mereka berani mengarungi ganasnya alam dan hewan air di sekitar danau Toba dalam situasi geografi tahun 1300-1800an. Dari daerah Balige di arah timur, ada yang bertualang ke ujung paling barat danau di kaki pegunungan seram di pinggiran hutan lebat, hunian gajah dan harimau sumatra yang terkenal ganas di huta Sihotang. Dan setelah memperoleh isteri dari keluarga Raja Sihotang, maka pastilah Raja ini tidak asal sembarang marhela kepada seorang Raja juga yang memperisteri putrinya. Tentu saja, minimal kedua Raja ini sama-sama jagoan dalam fisik dan non-fisik. Rap halak jolma na gogo di parbadanon nang di partondion. Pastilah juga, ketika kembali ke kampung halamannya bersama isterinya, mereka berdua pun begitu hebat dan mengagumkan kekuatan fisik dengan daya spiritual sangat tinggi. Selama bertahun berbilang bulan mereka berjalan kaki menjelajah hutan rimba raya pegunungan dingin menggigit, saban hari diintai hewan buas, dan mendayung di perairan dengan segala ancaman bahaya arus dan angin. Terbukti pula, kini di era modern, kita ketahui laju sejarah kemajuan perkembangan hidup beragama dan berpendidikan, dsm., yang terjadi di tanah Batak ternyata dicatat sebagai salah satu “yang tercepat lajunya” dari berbagai belahan dunia lainnya.

Kelima. Urutan generasi penomoran pohon silsilah keluarga setiap marga, relatif kecil kekeliruannya; karena kuatnya identitas khas sistem relasi Dalihan Na Tolu. Kecuali, kekeliruan bisa jadi soal yang serius seperti sindiran Dalle. Itu bisa terjadi sebagai keterputusan budaya (diskontinuitas), karena ‘praktik lalai’ atas berbagai sebab dan alasan menghilangkan keunikan tradisi dan identitas khas Batak dalam diri dan keluarga intinya disebabkan situasi lokal perantauan. Situasi diskontinuitas ini nyata sangat rawan bagi generasi Batak modern terkini, yang bisa jadi punah pada dua-tiga generasi dari sekarang. Sebab, relasi emosional generasi perkotaan sudah tidak tersambung dengan generasi di tempat asal (Bonapasogit), terutama setelah generasi orangtua masing-masing sudah meninggal dunia. Tambahan lagi, bahasa Batak dan acara-acara budaya asli sudah tidak menarik perhatian generasi terkini, karena dianggap memboroskan energi, waktu, dan biaya.

Keenam. Segala bentuk kekerasan dan “permusuhan antar keluarga” di dalam nuansa dan nada kisah narasi beberapa marga Batak., harus ditinggalkan semua aspek kekerasannya. Tafsir teks dan konteks harus dilakukan terhadap situasi faktual sosio-geografi di era tahun 1300-500an, yang tidak/belum kenal budaya baca-tulis, untuk mencatat fakta laporan peristiwanya. Namun, benarlah keberlanjutan hidup diri sendiri dan keluarga di dalam kisah folklore itu, hanya bisa diteruskan oleh yang terkuat mampu bertahan (survival for the fittest) sebagai nilai ajaran. Tak pernah bisa dibenarkan adanya nilai luhur yang rasional dari “permusuhan antar saudara” untuk boleh diwariskan. Kecuali jika hal yang diwariskan adalah: jangan pernah ada permusuhan lagi antar sesama semarga kapan dan dimana pun. “Ia molo dung sega, dipauli ma, alai molo adong ia na tading, niulahan mamukka paulihon.” Ini pun local genius Batak juga.

Ketujuh. Demitologisasi rasional dari tafsir-ulang (hermeneutik) narasi itu, menampakkan nyata adanya warisan nilai tradisional kultural Batak yang bernilai luhur tinggi bagi generasi terkini, yaitu: agar kita senantiasa saling merawat kasih kemanusiaan dan melestarikan sikap anti-segala kekerasan (nonviolence). Semua kisah seram “permusuhan antar saudara” di dalam satu marga, telah menjadi luka batin mendalam menusuk tulang sumsum secara berantai bergenerasi dengan semua akibat ikutannya dialami hingga ke masa kini. Luka-luka batin itu dikisahkan, konon terjadi di masa lalu, di sekitar tahun 1300-1500an. Bukankah seharusnya, itu bisa dimaafkan walau tak perlu dilupakan untuk bahan pembelajaran. Forgive but not to forget. Biarlah itu tinggal, jadi masa lalu untuk dimaafkan. Maka, jangan pernah diulangi lagi sampai kapan, dimana pun, dan oleh siapa pun juga. Luka lama “permusuhan antar saudara” bisa juga terjadi antar saudara satu Ayah dari dua/lebih ibu. Maka, jelas dan tegas jadi moral warisan yang diturunkan dari narasi Folklore ini adalah: Lelaki Batak jangan pernah berpoligami, “marimbang” atau “unang mardua-dua inanta di jabu”. Di dalam satu Doa Martonggo-tonggo Batak asli bisa kita ketahui moral ini “Si dangka ni arirang, arirang ni Pulo Batu; Na so tupa sirang naung ho saut di ahu; Na so tupa marimbang sai hot tondi di jabu.”

Menjelaskan dan memahami secara komprehensif, benar, dan baik tentang esensi kisah narasi dan luka-luka batin itu, memang juga sungguh sulit dicarikan obatnya di masa lalu. Pastilah, itu karena informasi pengetahuan, ilmu, dan teknologi terbatas di masa itu. Sulit cari obat, juga kita temukan dalam pengalaman banyak penyakit di masa lalu. Tapi di zaman ini, sudah hampir tiada penyakit yang tak bisa disembuhkan. Luka batin permusuhan ini, jika pun tak bisa kita sembuhkan, tapi bisa kita tanggalkan. Kita tinggalkan masa lalu, seraya menatap hari esok dan ke depan. “Sae ma angka na salpu, lupa ma angka na tading gabe ilu-ilu, sai ro ma angka na uli na denggan, martua dapotan sude gabe pasu-pasu, marsogot nang haduan.”

Lagi pula kini, segala bentuk kekerasan, diskriminasi, dan permusuhan itu adalah nyata menjadi pelanggaran HAM (hak-hak asasi manusia), yang dilarang oleh sistem budaya dan hukum negara. Juga itu jelas dan tegas dilarang oleh sistem dunia internasional. Oleh sebab itu, tidak mungkin diteruskan sebagai warisan yang bernilai bagi generasi kini dan yang akan datang. “Ai sahit sisongon i, nang sude angka jea na sotupa, ingkon do i hatop-hatop bolongkonon.”

Batak Modern?

Siapa dan bagaimana Batak modern? Dilemma psiko-sosio-kultural bermentalitas splitz-personality, menjadi soal utama dalam pengalaman masyarakat kota besar seperti Batak di Jakarta. Situasi dan kondisi lokal Jakarta nyata tidak lagi rural agraris, tapi menjadi urban migran. Kehidupan di Jakarta dan kota besar lainnya tidak lagi stabil seperti desa. Tapi nyata sangat dinamis dengan frekuensi mutasi fisik dan psiko-sosiologis yang cepat berubah-ubah. Orang Batak yang bermukim di Jakarta (dan kota besar lainnya) tak bisa lepas dari situasi urban migran. Karena senantiasa dia masih disibukkan urusan keluarga dan peristiwa di kampung halaman yang masih agraris. Sementara irama hidup berkeluarga dan di pekerjaan sendiri, menuntut sikap tindak profesional dan rasional dengan pertimbangan yang sangat terukur dari segi waktu, biaya, dan enerji penggerak psiko-sosial. Frekuensi perubahan dinamika hidup sangat tinggi, dari satu territori ke wilayah lain di seantero nusantara. Pun topik yang sedang digumuli bisa bergeser begitu saja, langsung dari urusan niaga, bisnis manajemen ke perbincangan tentang keluarga, melompat ke situasi moneter, dan loncat lagi ke berita politik hukum aktual, terus sambil berhitung jam sibuk macet di jalanan, dst. Begitulah wujud nyata hidup pragmatis dan pertimbangan praktis kaum urban migran Jakarta, yang hidup dalam diaspora terbuka (open soiety) peradaban global dengan sarana canggih tekno-multimedia.

Tetapi apakah rasa bersatu selaku Batak masih relevan dalam konteks urban migran diaspora terkini? Nyata, masyarakat Jakarta dan kota besar lainnya masih mengharapkan kerinduan ‘Batak bersatu’ akan terpenuhi di dalam acara adat atau upacara khas Batak. Namun implikasinya, bukankah fenomena kerinduan itu seakan jadi fatamorgana. Sering terjadi contoh soal, kerinduan seorang yang sudah merasa berhasil di Jakarta. Lalu agar senantiasa dekat dengan Ayah Ibu yang juga sangat dirindukan oleh anak kandungnya yang mungil, maka orang-tua yang biasa hidup di alam pertanian dusun itu pun ‘dipaksa’ menghidupi udara polusi hiruk pikuk Jakarta. Si orang tua biasanya tak kerasan meninggalkan sawah ladang dan segala pernik desa sunyi alam asri. Tapi dia juga tak sampai hati meninggalkan cucu tersayang dan anak yang sungguh merindukannya. Itulah wujud nyata splitz personality psiko-sosio-kultural kaum urban migran kini, yakni generasi pertama dan kedua hasil bermata-pencaharian di perkotaan modern. Mereka ini ada yang masih terpaut langsung dengan keluarga Batak di tanah asal (bonapasogit). Tetapi juga ada yang sudah ‘lebih Jawa dari Jawa’ atau sudah lebih Sunda karena menyunda hidup di Tatar Sunda.[3] Jika pun ada beberapa kajian atau buku yang menguraikan situasi budaya asli Batak, tidak akan sampai untuk mereka baca. Jika pun buku itu ada, tapi mood psikologis untuk membaca kisah narasi berpanjang-panjang, tidak sesuai dengan alam kondisi mereka yang sangat praktis, perlu singkat, tegas, direktif, terinci, dan bernilai nyata. Dunia hidup mereka di perkotaan, sungguh jauh berjarak tak bisa dikomparasi dengan alam kultur rural agraris. Satu-satunya penyatuan situasi adalah bahwa mereka itu masih Manusia yang tak-lepas dari akar kultur asal di pedesaan.

Masa depan masyarakat Batak modern terkini, juga sangat ditentukan di sentra wilayah marginal urban migran. Ancaman akan hilangnya generasi (the lost generation) menantang kaum muda Batak dan para profesional Batak terkini untuk menyelamatkannya. Relevansi konteks situasi ‘Batak bersatu’ yang dulu di pedesaan hampir selalu ‘hadir bersama’ apakah masih bisa dipertahankan? Situasi personal contact yang intim penuh emphati, justru sangat dirindukan oleh kaum urban migran kini. Betapa sering terdengar jeritan tangis membatin, yang mengeluhkan sangat perlunya fasilitasi pendampingan personal kontak bagi kaum pekerja rendahan, buruh, profesional kerah biru dan putih, aktivis advokasi, yang juga digumuli oleh orang Batak modern di perkotaan padat dan daerah industri. Pengalaman nyata menunjukkan juga bahwa sangat diperlukan inspirasi, animasi, dan coaching egaliter berbentuk fasilitasi pendampingan yang penuh persahabatan intim bagi kaum muda Batak yang menyebar diaspora di eksekutif swasta, di lingkungan kerja sosial kemasyarakatan, dan kenegaraan. Bagaimana cara dan solusi ke arah itu?

Tentu saja disadari ada ragam kesulitan dan implikasi praktis yang akan muncul dari panggilan fasilitasi pendampingan untuk dunia itu. Tetapi justru itu pula yang menjadi sebentuk challenges bagi ujian integritas pribadi Batak mapan, yang diharapkan jadi fasilitator pendamping bagi kaum urban migran dinamis diaspora di perkotaan. Sekali lagi, disini diperlukan warisan nilai bersama dari kekayaan, kekuatan daya dan komunikasi batin kepenuhan hidup spiritual peninggalan moyang Batak di masa sebelum tahun 1800 di wilayah splendid isolation. Sebab, berbagai kemudahan dan fasilitas dari situasi zaman ini, menjadi “musuh” langsung terhadap kesetiaan nilai-nilai hidup keutuhan keluarga. Ruang privacy sangat mudah dan banyak diperoleh kini, sehingga sangat terbuka adanya penyelewengan sumpah bermonogami. Godaan kenikmatan duniawi dari berbagai materi dan fulus yang sangat mudah dijangkau. Alat-alat kontrasepsi dijual bebas, sementara usia pra-nikah menjadi sangat lama. Semua ini mempermudah runtuhnya keutuhan nilai-nilai luhur berkeluarga. Norma warisan leluhur tentang Si dangka ni arirang, arirang ni Pulo Batu; Na so tupa sirang naung ho saut di ahu; Na so tupa marimbang sai hot tondi di jabu” akan semakin tidak mudah dijaga keutuhannya dalam suasana ‘Batak bersatu’ di era zaman serba terbuka yang menerobos ruang privacy di masa kini, dst.

***

Deskripsi di atas itu kiranya bisa menunjukkan, betapa sederet soal berimplikasi praktis dilemmatis di dalam splitz personality, antara mentalitas urban migran berbaur romantika kerinduan rural statis, justru memerlukan redefinisi, reformulasi, dan revitalisasi bagi kerinduan ‘Batak bersatu’ yang berkembang dari masa lalu ke masa kini. Konteksnya, agar tidak sekadar mengejar target entertainment romantis kerinduan situasi rural agraris yang statis di masa lalu. Sejumlah soal praktis ancaman bahaya dialami Batak modern terkini. Mereka sedang mengalami situasi rentan tercerai berai dan tercerabut dari akar asal-usul Batak asli menuju punah pada dua-tiga generasi dari sekarang. Soal-soal itu menjadi tantangan nyata yang dihadapi oleh kerinduan ‘Batak bersatu’. Deretan soal itu juga nampak jauh lebih bernilai moral luhur untuk dicarikan solusi, daripada sekadar motivasi ‘bersatu’ untuk memobiliasi massa bagi tujuan pragmatis, kondisional, situasional partisan, temporer berjangka pendek dengan instrumen retorika ‘Batak bersatu’.*** [NikS.05ix12]

[1] Makalah ini dibuat atas permintaan Perkumpulan Gerakan Batak Bersatu Jkt utk presentasi 20 Nov 2012 di UKI Jkt. Beberapa bagian tulisan ini diolah dari riset Penulis (NS) ttg ‘Hukum Acara Kanibal dalam Budaya Animis’ di dalam buku “Acara Pidana Indonesia dalam SIRKUS HUKUM” Penerbit Ghalia Ind., Jkt, 2009 dan riset terbatas ‘Napak Tilas Peta Sejarah dalam Narasi Simanjuntak Sanggamula’ [2006], juga sebagian dari Paper (NS) “Refleksi Historis Religiositas Masyarakat Asli Indonesia” bersama Ahli Arkeologi dan Ahli Sejarah Gereja dalam Forum Studi Iman Ilmu Budaya, Bhumiksara, Jakarta, Maret 2003;

[2] Penulis bermukim di Jakarta, kelahiran Barus Tapanuli Tengah, alumnus Seminari PSiantar (Prima ‘69), lulusan Univ Islam Sumut (angkatan 1983) dan Pasca-Sarjana Univ Padjadjaran Bandung (angkatan 1992), Pengajar Hukum, HAM, dan ADR di Atmajaya Jakarta, Sekjen ISKA (1997-2001) dan Aktivis di NGO Internasional Pax Romana/ICMICA (Intellectual Movements on Interreligious and Inter-Cultural Affairs), sejak thn 2000 Staf Ahli di DPR RI, Advokat sejak thn 1988 dan Aktivis di berbagai organisasi lain-lain. [Email: nsplaw@gmail.com]

[3] Ref. Hasil penggalian terkini (1990-an) di situs Lobutua Barus oleh tim peneliti dari Ecole Francaise d’Extreme-Orient dan Pusat Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Nasional, yang tidak secara khusus bertujuan mengungkapkan relasi sosio-geografi itu, tetapi banyak deskripsi dari situ yang bisa dirujuk [Claude Guillot cs., Lobu Tua, Seajarah Awal Barus, 2002; Barus Seribu Tahun Yang Lalu, 2008]

[4] Dr. Togar Nainggolan OFMCap, Batak Toba di Jakarta Kontinuitas dan Perubahan Identitas, disertasi di Univ Nijmegen, Belanda, Percetakan Bina Media, 2006;

Senin, 09 September 2013

Air terjun dan Datu di seberang Kampung ( Cerpen )

Air terjun dan Datu di seberang Kampung ( Cerpen )
Oleh : Rinaldi Sinaga
 Jika kau pernah mendengar cerita tentang air terjun diseberang kampung yang airnya mengalir tanpa bermuara. Airnya akan tertelan keperut bumi melalui hutan belantara yang ada disebelah tenggara desa. Lalu suatu saat nantinya air itu akan datang dari sang pencipta, mengalir dan akan menjadi air terjun lagi. Begitulah mungkin siklus air terjun yang beredar diantara warga desa, meskipun tidak akan pernah tercatat dibuku-buku IPA tetapi mereka akan tetap percaya. Peristiwa itupun akan menjadi cerita hangat diantara warga karena air terjun itu hanya akan muncul jika musimnya tiba. Atau hanya mengalir jika nantinya akan ada peristiwa, begitulah kata-mereka yang sudah lanjut usia. Namun pernah ada guru fisika yang baru datang dari kota mengamati gejala itu, dia berpendapat itu hanyalah gejala alam yang sudah biasa. Sehingga dia menjadi dibenci para tetua karena teorinya itu. Dia pun tetap apa adanya, sehingga seminggu kemudian para tetua mewakili warga mengusirnya.
Guru fisika yang malang, dia menjadi malang melintang hanya karena teori yang menantang. Dan dia pun kembali berpetualang, mengajarkan apa yang dia tahu tentang alam. Meskipun harus melayang dalam mimpi yang membayang.
**
Jika hujan kembali datang, semua warga akan melakukan sesuatu agar tidak terjadi pantang, menusukkan pisau tanpa gagang di depan pintu . Karena pada saat itu, dia pemilik air terjun yang sangat mereka takuti akan melewati semua pintu dikampung itu menuju air terjun untuk mandi. Dan jika hujan tiba-tiba saja berhenti, pemilik air terjun itu diyakini tidak jadi mandi karena salah satu pintu belum ditancapkan pisau tanpa gagang. Dan warga yang pintunya belum ditancapkan pisau itu akan berutang seekor kerbau kepada pemilik air terjun. Maka dia harus mengajak semua warga untuk mengajak semua warga kampung berpesta ditempat air terjun itu jika musim kemarau mengganggu.
Berbeda halnya jika hujan terus menerus datang, itu artinya pemilik air terjun yang mereka takuti-tapi tetap juga mereka tunggu- sedang menikmati mandinya dibawah air terjun itu. Tetapi pada saat hujan itu datang terus-menerus, semua tanah akan tertutup air hingga puluhan centimeter tingginya . Saat itu air terjun itu juga seperti Niagara dengan airnya yang keruh. Hanya saja tidak pernah ada warga yang sempat melihatnya, karena saat yang sama rumah mereka tertimpa bencana. Air yang naik akan merendam rumah dari ujung ke ujung kampung. Tetapi warga tetap percaya, itu adalah pembersihan rumah mereka dari segala penyakit dan dosa yang mereka buat selama semasa.Tapi saat bencana itu datang, akan terjadi sesuatu yang berbeda dengan keluarga Bagading yang rumahnya ada dilereng dekat air terjun itu. Mereka tidak akan mengalami apa-apa, sehingga mereka dapat menikmati air terjun niagara yang keruh itu. Warga yakin mereka adalah yang diberkati.
Dan sumber pendapatan mereka juga berasal dari situ, mereka akan menampung sebanyak-banyaknya air yang mengalir dan berbusa dari air terjun itu. Karena mereka yakin itu adalah air yang telah dimandikan pemilik air terjun yang mereka takuti.
Ketika hujan berhenti dan air mulai mengering, orang-orang dari penjuru kampung akan berlomba-lomba menuju rumah keluarga Bagading untuk membeli air yang ditampung itu. Air yang pada dasar tempayannya juga mengendapa semacam tepung itu, dan endapan itu juga mereka yakini dapat mengobati semua jenis guna-guna. Dan air itu jika dimandikan akan mengobati semua jenis penyakit kulit.
Tapi semenjak pengusiran guru fisika dulu, peristiwa itu tidak pernah terulang lagi. Peristiwa yang membuat mereka seperti kehilangan sesuatu. Mereka telah membuat beberapa pesta dan memotong kerbau, tetapi hasilnya tetap sama saja, suasana didekat air terjun yang mengering itu kini telah berdebu.
Bagading yang memperoleh penghasilan utamanya dari situ mulai menjumpai seorang datu diujung kampung. Sedangkan diantara warga mulai simpang siur membawa berita tentang guru fisika yang sudah entah dimana. Dan mereka yakin guru fisika itulah yang membawa bencana.
Sepulang dari ujung kampung, Bagading membawakan berita yang membuat geger seluruh penghuni kampung. Pemilik terjun mengingini lima perawan desa untuk membuat masalah itu rampung.
Warga kampung mulai was-was, gadis-gadis desa yang masih perawan ketakutan setengah mati. Dalam suatu kesepakatan, para orang tua mengantarkan mereka pada malam hari menuju stasiun di ibukota kecamatan untuk di ungsikan kekota. Sehingga tidak akan jadi tumbal pemilik terjun itu.
Paginya, semua warga yang tidak punya anak gadis merasa heran dan curiga. Di kampung itu terasa lengang, seperti tidak adalagi yang membuat ceria. Gadis-gadis yang biasanya ramai-ramai kesungai dipagi hari kini tiada lagi. Kecuali putri semata wayang bagading, pagi ini dia kesungai sendiri, mencuci bekas penampungan air terjun yang sudah kering dan berkerak.
Dan menurut cerita yang kubuat, disana dia menemukan bunga disana, Dia percaya bunga itu berasal dari kerak yang dicucinya.
Dia lalu berlari-lari seperti gadis kecil yang menemukan pita menuju rumahnya. Menunjukkan bunga itu pada Bagading ayahnya. Lalu Bagading akan menunjukkannya pada semua warga. Berdasarkan musyawarah mufakat yang tercipta mereka akan membawanya kepada datu yang ada diujung kampung, menanyakannya tentang apa makna penemuan bunga yang berasal dari sisa kerak air terjun itu.
Setelah mendapat petunjuk mereka mulai membuat tenda didekat tempat air terjun yang kini berdebu, memotong kerbau tujuh ekor juga lembu satu ekor untuk dipersembahkan kepada bunga dan juga pemilik air terjun.
Selesai pesta, karena lelah semua warga tertidur lelap dirumah masing-masing.
Lalu bermimpilah seorang warga, Dia melihat diujung sungai seorang yang datang entah darimana. Lalu dia meyakini itu adalah titisan. En tah mengapa, setelah selesai bermimpi, dia langsung terbangun, maka ketika masih pagi buta, dia segera pergi kerumah Bagading. Dan ketika melewati bunga yang baru mereka pestakn semalam, dia melihat bunga itu bercahaya. Mungkin pertanda begitulah pemikirannya. Ketika sampai dirumah Bagading, dia melihatnya sedang bertapa, menyembah lukisan didinding kamarnya yang tampak seperti lukisan manusia purba. Tapi Bagading sepertinya mengetahui kehadirannya, mengakhiri pertapaanny dengan bersujud hingga bokongnya lebih tinggi dari kepala, sesudah selesai, diapun membukakan pintu.
Lalu mereka mulai bercerita ini itu, hingga matahari menjelang mereka mulai mengumpulkan semua warga, memceritakan tentang mimpi yang mereka yakini sebagai petunjuk berharga dan mungkin harganya melebihi emas hadiah piala dunia. Lalu semua warga laki-laki menyusun gerombolan-gerombolan menyerupai batalion tempur. Mereka bergerak seperti akan melakukan operasi geronimo. Meski mereka sebenarnya tahu yang mereka cari sebenarnya hanya mimpi. Sedangkan wanita-wanita mereka akan mempersiapkan hajatan makan siang dikampung, sehingga suasanapun seperti pesta.
Tetapi hingga sore mereka tidak menemukan apa-apa, mereka kembali meminta petunjuk kepada datu diujung desa. Lalu dengan petunjuk yang mereka percaya, merekapun memutuskan bahwa titisan itu adalah guru fisika dengan teorinya, sayangnya kini dia sudah entah dimana.
Untungnya sang datu punya solusi, dia lalu meminta bunga yang dulu dapat putri bagading untuk dijadikan petunjuk. Tetapi bunga itu kini layu dan warnanya tidak ada lagi.
Warga pun terkesima, karena sesungguhnya bunga itu tidak ada bedanya dengan bunga-bunga lain yang mereka pelihara. Dengan serta merta, semua warga pun membuang bunga itu kejamban pembuangan di hilir sungai. Namun anehnya, ketika bunga itu dibuang, malamnya putri semata wayangnya Bagading menjadi sakit, badannya panas, lalu kalau tidur akan terus-menerus menyebut nama guru fisika itu.
Warga mulai percaya, htulah yang namanya guna-guna. Orang-orang yang masih menyimpan air dari air terjun itu segera datang membawakannya kerumah Bagading.
Tetapi gadis itu tidak sanggup meminumnya karena rasanya yang hampir tidak ada bedanya dengan tanah. Ayahnya menasehatinya dengan menyatakan bahwa sesungguhnya obat itu memang tidak enak.
Dengan terpaksa, gadis itupun meminumnya, baru sedikit saja, dia pun muntah-muntah. Ketika semua yang disana melihatnya muntah, mereka percaya bahwa guna-guna itu sudah keluar dari gadis itu.
Tetapi malah sebaliknya, penyakitnya semakin menjadi-jadi. Kali ini pun dengan terpaksa bagading membawa putri semata wayangnya kedatu diujung desa. Lalu sang datu bertapa mengucapkan mantera yang lebih baik dikatakan mengingau saja. Sesudah itu berkata bahwa puteri bagading akan sembuh ketika waktunya tiba.
Sebulan sesudah itu, puteri Bagading tidak juga sembuh. Dia mulai curiga, jangan-jangan Datu itulah yang punya ilmu guna-guna. Dia mulai mempengaruhi warga, terlebih pardo dan komplotannya yang menyimpan dendam kepada sang datu karena masalah gadis-gadis perawan yang dulu.
Mereka lalu menikamnya, saat itu sang datu sedang menikmati tidur dengan istri tercintanya yang masih muda. Dua-duanya pun mati tanpa sempat bersuara, sayangnya darah keduanya sempat menyatu. Karena menurut cerita darah dua yang menyatu ketika meninggal dunia akan menjadi hantu.
Sejak saat itu, malam-malam dikampung itu jadi sepi, jam enak sore rumah-rumah telah tertutup pintunya.
Siang harinya, warga sering bercerita melihat sepasang pengantin yang melewati jalan didepan rumah mereka. Lain lagi dengan versi warga yang berbeda, kalau ditanya setiap warga akan melihat hantu yang berbeda meskipun intinya tetap sama yaitu sepasang hantu. Begitulah dikampung itu berbulan-bulan lamanya, sehingga mereka lupa tentang air terjun yang istimewa dan juga puteri bagading yang sudah keluar dari alur cerita. Hingga suatu malam kira-kira jam sembilan, hujan pun turun dan mulai menggenang semua rumah warga, mereka lupa atau mungkin juga takut menancapkan pisau didepan pintu rumah karena tidak berani bertemu hantu datu dari ujung kampung beserta istrinya.
Hujn terus menerus datang. Hingga suatu hari di sebuah koran memuat mengenai sebuah kampung yang hilang kena terjangan banjir..

Senin, 22 Juli 2013

Cerpen Renjana


Aku berangkat ke kotamu pagi ini dengan kereta paling awal, diantar hawa dingin dan kabut bulan 
Maret yang menusuk tulang. Mungkin kau tak mengira bertahun-tahun setelah kita tak lagi menghabiskan waktu bersama aku selalu melakukan perbuatan tolol ini: mencarimu di kota yang tak lagi kau tinggali.
Ataukah kau sudah menduganya, dan membayangkan dari kejauhan seluruh ketololan yang kulakukan ini, menertawai masa lalumu bersama seorang lelaki yang tak pernah bisa lepas dari kenangan?
Menjelang berangkat aku bangun sebelum cahaya kemerahan merekah di timur. Kubuka jendela kamar agar angin pagi menyegarkan ruangan kamar dan menahan mataku dari serangan kantuk. Kegelapan yang perlahan menghilang di luar rumah sungguh menggetarkan. Aku seolah terkurung dua makhluk mengerikan, di depan dan di belakang. Telinga dan benakku masih memperdengarkan gemuruh teriakan-teriakan demonstrasi, rentetan tembakan dari senapan tentara, dan tubuh teman-temanku yang roboh oleh peluru karet atau peluru sungguhan. Mungkin aku masih mengalami halusinasi berkepanjangan akibat peristiwa tiga belas tahun lalu itu.
Untuk menutupi rasa pedih kehilanganmu dan teror masa lalu itu, kunyanyikan lagu masa kanak-kanakku, ”Di Timur Matahari”. Di sekolah dasar, aku sangat menyukai lagu itu. Lima belas tahun kemudian aku dan teman-temanku kembali menyanyikannya setiap kali kami berdemonstrasi di bawah ancaman moncong senjata. Ingatkah engkau kalau di masa-masa awal demonstrasi itu kita bertemu, saat orang-orang berseragam itu menghalau demonstran dan kau yang sedang dalam perjalanan pulang dari kampus hampir saja dipukul oleh mereka? Lengan kananku memar akibat menangkis pemukul mereka. Sedangkan kau, yang terus gemetar tanpa bisa mengeluarkan sepatah kata pun, membiarkan tubuhmu terseret tangan kiriku yang mencari jalan di tengah kekacauan itu. Tak kusangka kalau ternyata dirimulah orang yang gantian menyelamatkan aku ketika kaki tangan penguasa tua itu hendak menghabisiku lewat daftar mahasiswa yang harus diamankan begitu demonstrasi tak bisa lagi dikendalikan oleh ancaman senapan.
Kau akan bangkit dari ilusimu, Sayangku. Semuanya telah selesai. Tak ada lagi orang yang akan menculikmu. Aku ingin kembali mendengarmu bercerita tentang film-film yang kau tonton atau melihatmu berlatih menulis skenario film. Paling tidak kita bisa menyusuri pantai di sore hari sampai lewat senja. Bukankah di pantai itu kau sering berkata bahwa esok, begitu matahari terbit, kau akan berjalan ke timur menyambut matahari baru?
***
Gerbong kereta ini memang membawaku ke arah timur, namun bukan menyongsong matahari. Ia menyongsong kotamu–ataukah menyongsong masa laluku? Di kereta aku benar-benar merasa menjadi orang lain. Sebagian di antara mereka adalah para pekerja kantor dan mahasiswa; hanya satu-dua yang berpakaian lusuh. Sementara aku, dengan celana jeans dan berkaus, memeluk tas ransel, tenggelam dalam pemandangan sawah di sebelah kiriku, deretan rumah-rumah penduduk yang berlarian ke belakang, gunung yang tak pernah bergeser dari tempatnya, dan kabut misterius yang menyelimutinya.
Di tengah deretan penumpang anonim ini, sering kubayangkan dirimu terselip di sebuah bangku di sudut dekat sambungan gerbong, menatap kabut pagi yang masih mengambang dan bayangan gunung berwarna biru kelabu. Kau menatapku terkejut, sementara aku segera menyongsongmu dengan pertanyaan-pertanyaan konyol: Kenapa kau sendirian saja di situ? Ke mana saja kau selama ini? Apakah kau juga akan pulang kembali ke kotamu? Kenapa kau tak memanggil dan memintaku duduk di sampingmu? Bukankah setiap kita melakukan perjalanan dengan kereta kau selalu memintaku bercerita tentang rapat-rapat rahasia, para pengkhianat yang menukar perjuangan teman-temanku dengan keselamatan nyawa mereka, orang-orang yang selalu membuntuti ke mana aku pergi, dan kenapa kita bisa saling jatuh cinta sebegitu dahsyatnya di tengah ketidakmenentuan itu?
Semua ketololan ini hanya bisa dilakukan oleh seorang lelaki pengkhayal yang tak lagi memercayai hari esok. Bagaimana tidak, dalam satu tahun hampir setiap bulan aku melakukan perjalanan bolak-balik selama dua setengah jam, hanya untuk mencari sesuatu yang tak bisa kutemukan sampai kapan pun.
***
Apakah aku harus berbohong pada diriku sendiri bahwa aku tak bisa melupakanmu, bahwa bayanganmu selalu mengikuti setiap adegan dalam film yang kutonton, bahwa tatapan matamu yang teduh bermain di antara halaman buku yang sedang kubaca? Bertahun-tahun setelah kau pergi, setelah demonstrasi mahasiswa yang heroik itu telah berlalu, setelah kusaksikan tumbangnya harapan-harapanku pada negeri ini, aku berpikir bagaimana akan kutulis skenario film tentang perjalanan kereta sepanjang dua setengah jam ini, kegelisahanku di dalam gerbong kereta dan para penumpang yang masih diterkam hawa kantuk luar biasa sekalipun tubuh mereka telah bersih dan wangi.
Sungguh, aku membayangkannya sebagai sebuah film dengan bagian awal seorang laki-laki yang berlarian tergesa ke loket stasiun karena kereta hampir berangkat. Kakinya hampir terpeleset ketika memasuki gerbong yang mulai bergerak perlahan. Perjalanan demi perjalanan tanpa suara. Hanya gerakan mata, langkah kaki, dan lanskap-lanskap yang berbicara dengan bahasa mereka sendiri. Begitu turun dari kereta dan menjejakkan kaki di stasiun kotamu, mata lelaki itu akan bergerak memutari seluruh stasiun, menatap ratusan orang yang bergegas ke pintu keluar, para petugas kereta api yang sibuk, para calon penumpang yang sedang menunggu pemberangkatan dan para pengemis yang mulai berkeliaran di antara para penumpang.
***
Kau tentu belum lupa undak-undakan yang biasanya dilewati para penumpang begitu turun dari kereta itu bukan? Di situlah terakhir kali kita duduk berdua dengan tubuh berimpitan pada suatu sore, satu tahun setelah aku keluar dari klinik rehabilitasi jiwa, ketika suara-suara mengancam dalam benakku mulai mereda. Rasa-rasanya saat itu kita sedang memainkan adegan film menyedihkan senja itu. Seorang perempuan dengan mata bening dan pipi cembung, mulut kecil dan bibir tipis, tengah berada di simpang jalan perpisahan dengan seorang lelaki bodoh yang telah kehilangan banyak harapan pada kehidupan yang diarunginya. Aku membelai rambutmu yang panjang, menghapus air matamu dengan penuh kelembutan, sampai-sampai tak sadar bahwa kita telah menjadi tontonan orang-orang di dalam stasiun.
”Setelah ini mungkin kita tak bisa lagi bertemu. Ayahku tak pernah bisa memaafkanmu atas apa yang telah kau lakukan bersama teman- temanmu. Ia menganggap dirimu dan teman-temanmu adalah perusuh dan generasi tak tahu diri,” katamu sembari memandang lekat ke dalam kedua biji mataku.
”Kau tak mau mengambil pilihan lain?”
”Aku tak bisa meninggalkan ayahku. Kalau aku memilihmu, dia akan mengambil pilihan yang mungkin membuatku menyesal seumur hidup,” ujarmu dengan tenggorokan turun-naik.
Kini, bertahun-tahun setelah peristiwa itu lewat, aku tak bisa membedakan apakah kita sedang berpura-pura memerankan sebuah adegan menyedihkan dalam film ataukah tengah mengalami sesuatu yang benar-benar nyata, sebuah mimpi buruk yang tengah bersiap menerkam kedamaian hidupku. Warna langit sore begitu lembut, dan angin tajam yang menyisir kulitku saat itu seperti mengiris kenyataan pahit dan menghidangkannya padaku. Apakah hidup harus sepahit dan sesunyi ini? Masih kuingat jelas pesan ayahmu lewat telepon genggamku yang ia kirimkan tanpa sepengetahuanmu. ’Aku tak sudi memiliki menantu pemberontak dan berjiwa rusak sepertimu. Jauhi anakku, tak layak keluarga kami memiliki menantu yang mengidap sakit jiwa sepertimu!’
Dan kau, di ujung percakapan di undak-undakan lantai stasiun itu, memelukku untuk terakhir kalinya, sebelum kereta berangkat ke kotaku. ”Aku juga berlaku bodoh karena mencintaimu,” katamu.
***
Kini, begitu kakiku telah menyentuh stasiun kereta di kotamu, semua peristiwa yang mengikat kita berdua di masa lalu seperti hadir kembali dengan warna yang baru. Keluar dari stasiun kereta, aku menatap wajah kotamu yang sangat sibuk, ragu apakah harus berjalan kaki atau naik bis kota. ”Kau selalu tak bisa menikmati waktu setiap naik bis kota. Lebih baik jalan kaki daripada melihatmu selalu resah di dalam bis,” katamu setiap kali kita turun dari kereta dan akan naik bis.
Ingatan akan ucapanmu itu membuatku berjalan kaki menyusuri trotoar jalanan. Langkah kakiku terhenti di benteng tua yang selalu kita singgahi setiap kali mengantarmu pulang ke rumah. Di salah satu ruangan benteng itu, di bagian yang paling gelap, aku pernah berteriak seperti orang gila menyebutkan namamu. Kau tertawa dalam kegelapan dan aku menikmati sensasi tawamu. Mataku benar-benar tak bisa melihatmu ketika tiba-tiba dari balik kegelapan kau memelukku erat-erat dan membisikkan kata-kata yang menenteramkan hatiku.
Untuk inikah aku melakukan perjalanan tolol yang tak pernah kau ketahui? Lihatlah taman kota yang penuh pohon beringin itu, undak-undakan yang ada di tengahnya, rumput hijau yang menutupi tanahnya, dan sinar matahari yang menyirami rerumputan dan seluruh pepohonan rindangnya. Ada sebuah bangku kecil dari kayu di tengah taman kota itu, tempat kita duduk dan menghabiskan sore hari ketika anak-anak kecil banyak berkeliaran di sini. Pernah kau bertanya padaku apakah aku akan suka punya banyak anak, dan aku menggelengkan kepala keras-keras.
”Aku tak mau diributi oleh teriakan dan tangisan mereka. Aku hanya ingin satu anak perempuan yang manis, berambut ikal dan berpipi cembung sepertimu!”
”Kau bodoh. Punya anak banyak sangat menyenangkan. Aku akan melahirkan banyak anak nanti, biar kau tak sempat menonton film atau membaca buku!” katamu sambil tertawa.
Taman kota ini, seperti halnya benteng tua, bioskop besar di pusat kota yang selalu kumaki karena kegelapannya menakutkanku, gedung kampus dengan bangunan tinggi yang tersebar seperti raksasa-raksasa bisu pada malam hari, dan sebuah kedai kopi yang tutup sampai larut malam di pinggiran kotamu, masih menyimpan aroma kayu putih dan bedak bayi yang sering kau pakai. Bahkan ketika kusentuh bangku kayu kecil di taman ini, perasaan melayang yang sama dengan mengisap aroma kayu putih di lehermu itu masih jelas dalam benakku. Aku selalu kehilangan diriku di saat seperti itu, melebur dalam sesuatu yang tak kupahami, sesuatu yang luas dan tak bisa kukendalikan. Hanya suara lirihmu, serupa rintihan lembut di ujung senja ketika aku masih kanak-kanak dan ibuku menyuruhku pulang ke rumah, yang menghadirkan diriku kembali ke dunia dan mendapati kau tengah menatapku dengan tatapan asing.
”Kau masih seperti anak kecil, bodoh,” katamu dengan senyum berbinar.
Sampai di depan bekas rumahmu, getaran perih itu tak pernah berkurang sedikit pun. Setelah bertahun-tahun kau tak di situ, tak ada yang berubah dari rumah itu. Sebuah rumah tua, dengan pintu kayu berukir, jendela-jendela panjang dan agak tinggi dengan jeruji kayu di baliknya, beranda dengan hiasan lampu tua, dan pagar kayu yang mengelilinginya. Sebuah taman kecil, penuh anggrek yang tertempel di pohon mangga serta kembang sepatu merah masih terpelihara dengan baik.
Kemurungan ganjil mengalir tak terbendung dalam diriku, melahirkan rasa sesal tak berkesudahan. Apakah manusia bisa terlepas dari kenangan? Apakah orang yang terjerumus dalam kenangan tak akan mampu memiliki impian tentang masa depan yang terbebas dari masa lalunya? Lalu untuk apa aku harus menjalani hari-hari seperti ini? Sepanjang perjalanan pulang kembali, aku selalu memikirkan pertanyaan-pertanyaan itu.



Musim semi di hatiku (Fiksi Mini)

musim bersemi kembali


seekor kupu-kupu terbang,melayang diantara tunas muda dan bunga yang mengembang, mentari sumringah di ufuk timur.. 
es mulai mencair membentuk aliran sungai kecil, yang bermuara pada palung hati

pernah kah kau pikirkan?

sesaat senja yang lalu, saat musim gugur itu, saat itu kau gugurkan hatiku bersama daun-daun yang luluh,,saat itu kau berlari bersama kekasihmu dengan sengaja kau injakkan kakimu tepat di hatiku yang terjatuh..
tak ada yang memungutnya..
hingga musim salju tiba,,
hatiku membeku diterpa badai salju,tak ada yang menghangatkannya,tak ada yang menghiraukannya
kulihat dari ujung jalan,kau dan kekasihmu berdiam didepan tungku pemanas,bercanda,bergurau mesra...
hingga semalam musim berganti,saat mentari telah muncul lagi,,aku bangkit dari beku yg dingin,mencoba berdiri,,menyambut musim semi

kulihat di ujung sana, sekuntum bunga telah kuncup,tapi wanginya telah mulai memencar,,lalu di iringi cahaya,kakiku melangkah
aku,ya aku akan melangkah,menyambut musim bersama bunga yg akan mekar itu

sendu 2012
#pnl

Tentang Mereka di sekeliling kita

Foto: Lihatlahh
Betapa sadisnya dunia ini..
Betapa tidak adilnya..
Ada orang yang membuat rumahnya kosong tidak berpenghuni
Tanpa dia sadari saudara kita sesama manusia ternyata tidak mempunyai rumah untuk  ditempati..
Dimana letak kemanusiaan kita?
Apakah kita lua kemanusiaan yang adil dan beradap?
Haruskah kita menyia-nyiakan kasih dalam diri kita dengan melihat tanpa mengacuhkan mereka?
Bukankah mereka juga mahluk hidup yang layak hidup seperti mereka?
Berpikirlahh..
Mereka juga adalah makluk hidup..
Tapi kalau kita tau mereka makluk hidup..
SAUDARAKU APA YANG DAPAT KITA LAKUKAN UNTUK MEREKA?1. Lihatlahh
Betapa sadisnya dunia ini..
Betapa tidak adilnya..
Ada orang yang membuat rumahnya kosong tidak berpenghuni
Tanpa dia sadari saudara kita sesama manusia ternyata tidak mempunyai rumah untuk ditempati..
Dimana letak kemanusiaan kita?
Apakah kita lua kemanusiaan yang adil dan beradap?
Haruskah kita menyia-nyiakan kasih dalam diri kita dengan melihat tanpa mengacuhkan mereka?
Bukankah mereka juga mahluk hidup yang layak hidup seperti mereka?
Berpikirlahh..
Mereka juga adalah makluk hidup..
Tapi kalau kita tau mereka makluk hidup..
SAUDARAKU APA YANG DAPAT KITA LAKUKAN UNTUK MEREKA?






Foto: Pernahkah anda bayangkan?
Mereka juga adalah anak-anak Indonesia yang punya mimpi dan harapan akan masa depan.
Tetapi mengapa mereka ditelantarkan??
Dimana rasa kemanusiaan kita??

Hampir tiap hari kita menikmati pemandangan miris seperti ini.
Bahkan mungkin Pejabat juga bahkan Pak Presiden, Gubernur ataupun DPR pernah melihatnya.Pernahkah mereka perduli?
Sepertinya percuma nama mereka wakil rakyat karena yang mereka wakili tetap saja melarat..
 SUMPAHHHH
Belum pernah saya lihat ada media yang memberitakan seorang pejabat yang memperhatikan orang-orang yang telantar seperti mereka.
Media kayaknya lebih suka mengumbar-umbar kekayaan,popularitas ,pencitraan ataupun hal-hal lain yang kurang bermanfaat.

Pernahkah anda berpikir seandainya anda adalalah seorang petinggi negeri ini, apa yang anda lakukan?

Dan menurut anda siapa yang salah sehingga terjadi yang demikian ini?
2.Pernahkah anda bayangkan?
Mereka juga adalah anak-anak Indonesia yang punya mimpi dan harapan akan masa depan.
Tetapi mengapa mereka ditelantarkan??
Dimana rasa kemanusiaan kita??

Hampir tiap hari kita menikmati pemandangan miris seperti ini.
Bahkan mungkin Pejabat juga bahkan Pak Presiden, Gubernur ataupun DPR pernah melihatnya.Pernahkah mereka perduli?
Sepertinya percuma nama mereka wakil rakyat karena yang mereka wakili tetap saja melarat..
SUMPAHHHH
Belum pernah saya lihat ada media yang memberitakan seorang pejabat yang memperhatikan orang-orang yang telantar seperti mereka.
Media kayaknya lebih suka mengumbar-umbar kekayaan,popularitas ,pencitraan ataupun hal-hal lain yang kurang bermanfaat.

Pernahkah anda berpikir seandainya anda adalalah seorang petinggi negeri ini, apa yang anda lakukan?

Dan menurut anda siapa yang salah sehingga terjadi yang demikian ini?

Arah Dairi Kedepannya

                                                     Arah Kabupaten Dairi Kedepannya Sebagai penduduk Kabupaten Dairi yang sedang merantau, ...