Jumat, 26 April 2013

Hujan


Siapakah diantara mereka yang menanti hujan?
Yang berlindung diantara tetesannya?
hujan menggores luka..
Hujan menciptakan duka..
Tapi mengapa senja selalu mengantarnya?
membawanya hingga ke ujung malam?
Ahh..
andai saja hujan dapat membasuh luka..
andai saja hujan dapat membasuh noda..
mungkin saja aku akan tetep menantinya hingga senja terakhirpun beranjak matii.
..

Raja Batak dan keturunannya



Tarombo si Raja Batak (silsilah garis keturunan suku bangsa Batak) dimulai dari seorang individu bernama Raja Batak.
Si Raja Batak berdiam di lereng Pusuk Buhit, Sianjur Mulamula, namanya. Sehingga wilayah/lereng Pusuk Buhit dapat dikatakan sebagai daerah asal-muasal suku bangsa Indonesia, Batak, yang kemudian menyebar ke berbagai pelosok, baik Indonesia maupun dunia.
Si Raja Batak mempunyai 2 (dua) orang putera, yaitu:
  1. Guru Tatea Bulan
  2. Raja Isumbaon
Guru Tatea Bulan mempunyai 5 (lima) orang putera, yaitu:
  1. Raja Biakbiak (Raja Uti)
  2. Saribu Raja
  3. Limbong Mulana
  4. Sagala Raja
  5. Silau Raja

Raja Biakbiak

Raja Biakbiak adalah putera sulung Guru Tatea Bulan.
Raja Biakbiak atau juga disebut dengan Raja Uti tidaklah mempunyai keturunan.

Saribu Raja

Saribu Raja adalah putera kedua Guru Tatea Bulan.
Saribu Raja mempunyai 2 (dua) orang putera yang dilahirkan oleh 2 (dua) isteri. Isteri pertama Saribu Raja adalah Siboru Pareme yang melahirkan Raja Lontung dan isteri kedua Saribu Raja adalah Nai Mangiring Laut yang melahirkan Raja Borbor.

Raja Lontung

Raja Lontung mempunyai 7 (tujuh) orang putera, yaitu:
  1. Sinaga, menurunkan marga Sinaga dan cabang-cabangnya
  2. Situmorang, menurunkan marga Situmorang dan cabang-cabangnya
  3. Pandiangan, menurunkan Perhutala dan Raja Humirtap, Raja Sonang (Toga Gultom, Toga Samosir, Toga Pakpahan, Toga Sitinjak) dan cabang-cabangnya
  4. Nainggolan, menurunkan marga Nainggolan dan cabang-cabangnya: Batuara , Parhusip , Lumban raja
  5. Simatupang, menurunkan marga Togatorop, Sianturi dan Siburian
  6. Aritonang, menurunkan marga Ompu Sunggu, Rajagukguk, dan Simaremare
  7. Siregar, menurunkan marga Siregar dan cabang-cabangnya

Raja Borbor

Keturunan Raja Borbor membentuk rumpun persatuan yang disebut dengan Borbor yang terdiri dari marga Pasaribu, Batubara, Harahap, Parapat, Matondang, Sipahutar, Tarihoran, Saruksuk, Lubis, Pulungan, Hutasuhut, Tanjung serta Daulay. Sementara, waktu Nai Mangiring masih hidup, dia dan adik-ipar (adik-adik Sariburaja), Limbongmulana, Sagala Raja dan Silau Raja membuat suatu ikatan perjanjian yang disebut "padan" yang menyatakan bahwa "pomparan" mereka semua, seterusnya disebut dengan "Borbor Marsada". Disini turunan dari Boru Pareme tidak turut serta.

Limbong Mulana

Keturunan Limbong Mulana sebagai putera ketiga Guru Tatea Bulan, hingga kini tetap memakai marga Limbong.

Sagala Raja

Keturunan Sagala Raja sebagai putera keempat Guru Tatea Bulan tetap memakai marga Sagala.

Silau Raja

Silau Raja sebagai putera bungsu Guru Tatea Bulan menurunkan marga Malau, Manik, Ambarita.

Raja Isumbaon

Raja Isumbaon adalah putera kedua/bungsu Raja Batak. Raja Isumbaon mempunyai 3 (tiga) orang putera, yaitu:
  1. Tuan Sorimangaraja
  2. Raja Asiasi
  3. Sangkar Somalidang
Khusus keturunan Raja Asiasi dan Sangkar Somalidang hingga saat ini belum diketahui pasti siapa keturunan mereka. Ada yang berpendapat, Sangkar Somalidang sekaligus Sangkar Sobaoa. Pengertian "sangkar sobaoa" ialah sesungguhnya laki-laki namun sifat-pembawaannya perempuan, atau banci. Sedang Raja Asiasi dikatakan berkelana ("adventure") ke Aceh.

Tuan Sorimangaraja

Tuan Sorimangaraja mempunyai 3 (tiga) orang putera, yaitu:
  1. Ompu Tuan Nabolon, lahir dari isteri Sorimangaraja, Nai Ambaton (nama kecil, Boru Paromas/Boru Antingantingsabungan)
  2. Datu Pejel/ Tuan Sorbadijae, lahir dari isteri Sorimangaraja, Nai Rasaon (nama kecil, Boru Bidinglaut)
  3. Tuan Sorbadibanua, lahir dari isteri Sorimangaraja, Nai Suanon/Nai Tungkaon (nama kecil, Boru Parsanggul Haomasan)
Naiambaton, kurang pas, seharusnya atau aslinya adalah Nai Ambaton) dan Nairasaon seharusnya atau aslinya Nai Rasaon, tidak didahului kata "Raja". Karena yang dimaksud "raja" ialah pomparannya yang LAKI-LAKI. Kedua orang tersebut, Nai Ambaton dan Nai Rasaon adalah Ibu. Maka seharusnya ada pertukaran letak suku kata, bukan "pomparan raja naiambaton atau nairasan" tetapi seharusnya adalah "raja pomparan ni nai ambaton" atau raja pomparan ni nai rasaon" dan seterusnya. Kata "Nai" dalam bahasa Batak asli adalah panggilan-kehormatan, semacam "gelar". Karena kata Nai bagi seorang ibu dan kata "Amani" bagi seorang bapak menunjukkan bahwa pasangan suami-isteri yang bersangkutan sudah berhasil naik setingkat dalam status sosial bermasyarakat, dalam arti ibu dan bapak yang bersangkutan sehari-hari dipanggil dengan nama anak pertama, lepas dari laki atau perempuan. Namun kepada sang bapak, didepan nama anak-pertama tsb ditambahkan "Amani", semisal anak pertama tsb ialah si Bunga, maka si bapak dipanggil sehari-hari, "Amani Bunga". Sementara si ibu sehari-hari dipanggil "Nai Bunga", karena anak-pertama dari perkawinan mereka berdua diberi nama si Bunga. Semisal, sudah lahir anak pertama dan ternyata laki-laki, namun belum diberi nama, maka secara otomatis bernama "Ucok", sementara kalau yang lahir tersebut adalah perempuan, otomatis bernama "Butet". Sepanjang anak pertama lahir tersebut belum diberi nama, maka kedua orang, suami-isteri tersebut akan dipanggil Amani Ucuk/ Nai Ucok atau Amani/ Nai Butet. Di wilayah/daerah p. Samosir hal ini dianggap sangat elementer, namun sangat penting dalam etika berbicara, berkomunikasi dan pergaulan-bermasyarakat sehari-hari. Orang yang memanggil orang lain dengan panggilan "gelar", merasa menghormati orang yang bersangkutan dan orang yang dipanggil akan merasa dihormati. Kalau sepasang suami-isteri masih dalam penantian anak dari perkawinan, maka ada dua opsi. Pertama, diberi nama yang agak abstrak, misalnya Amani/ Nai Paima. Paima, secara harfiah= "menanti". Opsi kedua, mengambil-pinjam nama anak kedua atau ketiga atau keempat dari abang-kandung sang suami, yang belum dipergunakan oleh orang lain dalam kerluarga dekat. Bagi kita yang sudah hidup dikota, kita dipanggil dengan nama kecil kita, tidak masalah. Lain halnya dengan masyarakat kampung yang masih terikat dengan nilai dan tradisi lama secara turun-temurun. Masyarakat di kampung akan merasa plong, bebas, nyaman dan tidak terbebani, bila memanggil seseorang dengan gelar. Contoh di atas, Amani Bunga untuk sang bapak dan Nai Bunga untuk sang ibu.
Demikian halnya atas dua nama yang diberi koment di atas. Nai Ambaton ("panggoaran"), nama kecil ialah si Boru Anting-anting Sabungan/Boru Paromas (puteri Guru Tatea Bulan, "mar pariban"/"sisters" dengan si Boru Pareme). Si Boru Paromas adalah isteri pertama dari Tuan Sorimangaraja (anak dari Raja Isumbaon). Anak yg dilahirkan si Boru Paromas/Nai Ambaton, satu, bernama Ompu Tuan Nabolon; namun ada juga penulis yang menyebut namanya Ompu Sorbadijulu. Anak-anak O Tuan Nabolon inilah si Bolontua (Simbolon - seluruhnya), Tambatua - melahirkan banyak marga-marga, Saragitua - melahirkan banyak marga-marga, dan Muntetua - yang juga melahirkan banyak marga-marga. Estimasi terkini menjadi 70-an marga yang disebut dengan PARNA (Parsadaan Nai Ambaton) "na boloni".
Isteri kedua Tuan Sorimangaraja ialah si Boru Bidinglaut, yang kemudian "mar-panggoaran" Nai Rasaon. Melahirkan satu anak, bernama Datu Pejel; namun ada penulis menyebut namanya Ompu Tuan Sorbadijae. Anak-anaknya ada dua, yang lahir sekaligus dalam satu "lambutan" bernama Raja Mangarerak dan Raja Mangatur. Pomparan Raja Mangarerak ialah seluruhnya marga Manurung; sementara pomparan Raja Mangatur, ialah seluruhnya marga-marga Sitorus, Sirait dan Butarbutar. Panjang cerita/"turiturian" dibalik penyebutan 4 marga tersebut.
Isteri ketiga Tuan Sorimangaraja ialah Nai Suanon/ Nai Tungkaon, nama kecilnya ialah Boru Parsanggul Haomasan. Dalam tarombo pomparan Guru Tateabulan, diberbagai literatur nama ini tidak tertulis. Ibu ini melahirkan satu anak, bernama Tuan Sorbadibanua. Dari Tuan Sorbadibanua lahir 8 anak laki-laki, no 1 si Bagotnipohan, turunannya termasuk "Hula-hula anak manjae" SBY, keluarga Aulia Pohan. Satu lagi di antara 8 itu ada Silahi Sabungan, termasuk Letjend (Prn) TB Silalahi, anggota Watimpres SBY. Satu lagi di antara 8 itu ialah Raja Sobu, asal dari marga-marga Sitompul, si Raja Hasibuan kemudian (disamping masih tetap ada Hasibuan) menurunkan marga-marga Hutabarat(si Raja Nabarat), Panggabean (bercabang lagi dgn Simorangkir), Hutagalung, Huta Toruan (bercabang dua yaitu marga-marga Hutapea-Tarutung/Silindung & Lumbantobing). Catatan: ada juga Hutapea di Laguboti, tapi punya tarombo tersendiri.
Khusus tentang turunan Ompu Tuan Nabolon, menurut kebanyakan literatur adalah: No 1, si Bolontua (sampai sekarang masih satu) yg disebut Simbolon, no 2, Tambatua (1 Tonggor Dolok/Rumabolon, 2 Lumban Tongatonga, 3 Lumbantoruan), no 3, Saragitua, no 4, Muntetua. Mereka berempat, si Bolontua, Tambatua, Saragitua dan Muntetua dilahirkan oleh 2 Ibu: pertama, boru Pasaribu, kedua boru Malau (Silau Raja). Penyebutan nama anak-anaknya tsb oleh Ompu Tuan Nabolon pun, konon, tidak asal-asalan tapi harus bijaksana ("wise"), seperti cerita Raja Salomo yang bijak, karena dilahirkan oleh 2 orang isteri. Ada isteri pertama dan ada isteri kedua. Istilah kerennya, poligami. Sebagai perbandingan, ingatlah Abraham. Anak-anaknya antara Ismael dgn Ishak. Yg lahir duluan, Ismael, namun lahir dari pembantu, Hagar. Maka Ishak yang lahir dari sang "permaisuri", yaitu Sarah, itulah yg diberkati oleh Abraham dan Yahwe yang disembah oleh Abraham. Sekedar perbandingan saja lah.-->

Raja Nai Ambaton

Keturunan Raja Naiambaton dikenal sebagai keturunan yang terdiri dari berpuluh-puluh marga yang tidak boleh saling kawin (ndang boi masiolian). Kumpulan persatuan rumpun keturunan Raja Naiambaton disebut dengan PARNA (Parsadaan Raja Nai Ambaton). Catatan: huruf R dalam kata PARNA bukan representasi 'raja', tapi PAR=Parsadaan ("persatuan"), NA=Nai Ambaton.
Marga-marga keturunan Raja Naiambaton (Datu Sindar Mataniari) , antara lain: Raja Sitempang dan Bolon Tua. Dan cabang-cabangnya: Dari Istri Siboru Biding laut III Pomparan Raja Sitempang
  1. Raja Sitempang ( Sitanggang Bau, Sitanggang Lipan, Sitanggang Upar, Sitanggang Silo, Sigalingging, Sitanggang Gusar dari Sitanggang Bau, Sidauruk, Manihuruk dari Sitanggang Silo, Sigalingging Ke Dairi (Banuarea, Manik, Gaja, Tendang, Rampu, Kecupak, Kombi,Boang Manalu, Barasa, Turutan, Siambataon), Simanihuruk(Ginting Manik ke Tanah Karo)
Dari IStri SIboru Anting Anting Pomparan Raja Nabolon
  1. Simbolon Tua (Simbolon, Tinambunan, Tumanggor, Turutan, Pinayungan, Maharaja, Nahampun)
  2. Tamba Tua: Tonggor Dolok, Lumbang Tongatonga, Lumban Toruan. Lumban Tongatonga beranak dua: Rumaganjang dan Lumbanuruk. Rumaganjang beranak 3: Guru Sateabulan, Guru Sinanti dan Datu Parngongo. Datu Parngongo beranak 7, satu di antaranya bernama Guru Sojoloan (Guru Sotindion). Dari Guru Sojoloan/Guru Sotindion inilah Sidabutar, Sijabat, Siadari, Sidabalok yang biasa disebut "pomparan ni si opat ama".
  3. Munte Tua (Munte)
  4. Saragi Tua (Saing, Simalango, Simarmata, Nadeak, Sidabungke, Rumahorbo, Sitio, Napitu). Tiga marga dintaranya, yang konon turunan dari satu leluhur, yaitu RumahOrbo, NApitu dan SiTIO, akronim (RoNaTio ).

Nai Rasaon

Nai Rasaon adalah kelompok marga-marga dari suku bangsa Batak Toba yang berasal dari daerah Sibisa. Marga-marga keturunan Nai Rasaon, adalah: Manurung, Sitorus (menurunkan Pane, Dori, Boltok), Sirait, Butarbutar. MANURUNG menurunkan HUTAGURGUR HUTAGAOL dan SIMANORONI.
Si Raja Batak adalah S-1, Raja Isumbaon - setaraf dengan Guru Tatea Bulan adalah S-2, maka Tuan Sorimangaraja (anak Raja Isumbaon) adalah S-3. Dari Ibu, Nai Rasaon {nama kecil: si Boru Bidinglaut, Isteri II Tuan Sorimangaraja (S-3)/Anak no. 2 Ompu Raja Isumbaon (S-2)} beranak satu, yaitu Datu Pejel/Ompu Tuan Sorbadijae. (S=Sundut/generasi). Datu Pejel, dua anaknya sekali lahir (kembar-dua), namun tidak sebagaimana umumnya lahir kembar secara satu per satu, melainkan lahir kembar-dua didalam satu "lambutan". Yang dimaksud lambutan, barangkali adalah jaringan selaput yang membungkus bayi ketika didalam kandungan. Pada waktunya yang tepat dikemudian hari diberi nama: Raja Mangarerak dan Raja Mangatur si "Dua-sahali tubu". Pomparan Raja Toga Manurung berkembang dari Raja Mangarerak; Sementara pomparan Raja Toga Sitorus, Raja Toga Sirait dan Raja Toga Butarbutar berkembang dari Raja Mangatur. Meski empat marga ini sesungguhnya berasal dari satu Ompu, Datu Pejel, namun umumnya, berawal dari wilayah Porsea ke-empat marga ini sudah saling kawin-mawin. Maka prinsip satu keluarga besar "na so boi mar-si-oli-an" telah ditinggalkan. Proses ini diperkirakan sudah dimulai sejak 5 - 6 generasi sebelum generasi yang sekarang, atau kira-kira 200 tahun yl. Sedang diwilayah asal/asli Sibisa dan Ajibata perasaan bersaudara itu masih kental. Namun khususnya diwilayah Ajibata, antara Sirait dan Manurung, pada generasi yang sekarang, telah ada yang memulai kawin-mawin. Sementara antara Sirait terhadap Sitorus dan Butarbutar belum ada yang memulai. Tetapi didaerah perantauan, misalnya di p. Jawa telah ada yang merintis. aaa

Tuan Sorbadibanua

Tuan Sorbadibanua mempunyai 8 (delapan) putera, yaitu:
  1. Sibagotnipohan
  2. Sipaettua(Pangulu Ponggok, Partano Nai Borgin,Puraja Laguboti(Pangaribuan,Hutapea)
  3. Silahisabungan
  4. Raja Oloan
  5. Raja Hutalima
  6. Raja Sumba
  7. Raja Sobu
  8. Raja Naipospos
Sibagotnipohan Sibagotnipohan sebagai cikal-bakal marga Pohan mempunyai 4 (empat) putera, yaitu:
  1. Tuan Sihubil, sebagai cikal-bakal marga Tampubolon dan cabang-cabangnya
  2. Tuan Somanimbil, sebagai cikal-bakal marga Siahaan, Simanjuntak, dan Hutagaol
  3. Tuan Dibangarna, sebagai cikal-bakal marga Panjaitan, Silitonga, Siagian, Sianipar, dan cabang-cabangnya
  4. Sonak Malela, menurunkan marga Simangunsong, Marpaung, Napitupulu, dan Pardede
Sipaettua Marga-marga keturunan Sipaettua, antara lain: Hutahaean, Hutajulu, Aruan, Sibarani, Sibuea, Pangaribuan, dan Hutapea
Silahisabungan
Delapan Anak Keturunan Silahisabungan dari 2 istri yakni :
Istri Pertama, Pingganmatio Padangbatanghari, anaknya : 1.Loho Raja (Sihaloho) 2.Tungkir Raja (Situngkir) 3.Sondi Raja (Rumasondi) 4.Butar Raja (Sidabutar) 5.Debang Raja (Sidebang) 6.Bariba Raja (Sidabariba) 7.Batu Raja (Pintubatu)
Istri Kedua,Sinailing Nairasaon, anaknya : 8. Tambun Raja Alias Raja Itano Alias Raja Tambun (Tambun,Tambunan,Daulay)
Selain marga pokok di atas masih ada lagi marga marga cabang keturunan Silahisabungan, yakni : Sipangkar, Sembiring, Sipayung, Silalahi, Dolok Saribu, Sinurat, Nadadap, Naiborhu,Maha, Sigiro, Daulay.

Raja Oloan Raja Oloan mempunyai 6 (enam) orang putera, yaitu:
  1. Naibaho, yang merupakan cikal-bakal marga Naibaho dan cabang-cabangnya
  2. Sigodang Ulu, yang merupakan cikal-bakal marga Sihotang dan cabang-cabangnya
  3. Bakara, yang merupakan cikal-bakal marga Bakara
  4. Sinambela, yang merupakan cikal-bakal marga Sinambela
  5. Sihite, yang merupakan cikal-bakl marga Sihite
  6. Manullang, yang merupakan cikal-bakal marga Manullang
Raja Hutalima Raja Hutalima tidak mempunyai keturunan
Raja Sumba Raja Sumba mempunyai 2 (dua) orang putera, yaitu:
  1. Simamora, yang merupakan cikal-bakal marga Purba, Manalu, Simamora Debata Raja, dan Rambe
  2. Sihombing, yang merupakan cikal-akal marga Silaban, Sihombing Lumban Toruan, Nababan, dan Hutasoit
SILABAN(BORSAK JUNJUNGAN) 1.SILABAN (BORSAK JUNGJUNGAN) 2.OP. RATUS 3.AMA RATUS 4.OP.RAJADIOMAOMA 5.a. DATU BIRA (SITIO); b. DATU MANGAMBE/MANGAMBIT (SIPONJOT) c. DATU GULUAN
Raja Sobu Marga-marga keturunan Raja Sobu, antara lain: Sitompul dan si Raja Hasibuan. Dari si Raja Hasibuan berkembang lagi, yang tetap tinggal di Toba tetap Hasibuan, sedang "pomparan" Ompu Guru Mangaloksa yang merintis hidupnya ke wilayah Silindung, anak-anaknya berkembang menjadi si Raja Nabarat (Hutabarat), si Raja Panggabean (cabangnya,Simorangkir), si Raja Hutagalung dan si Raja Hutatoruan. Si Raja Hutatoruan dua anaknya, itulah Hutapea (Silindung/Tarutung, beda dari Hutapea - Toba/Laguboti), dan Lumbantobing (biasa disingkat L. Tobing=Lumbantobing). Marga-marga tsb (diluar marga Hasibuan), secara "specific" pomparan Guru Mangaloksa dinamai "Pomparan ni si Opat Pu(i)soran". Mana ejaan yang benar dalam bahasa Batak, antara Pusoran atau Pisoran, entahlah. Marga-marga tersebut di atas masih tetap alias belum bercabang hingga sekarang. Kecuali pencabangan untuk tujuan penyebutan internal, semisal Hutabarat. Ada Hutabarat Sosunggulon, Hutabarat Hapoltahan, Hutabarat Pohan. Dari tataran ini barulah dibagi lagi menjadi "mar-ompu-ompu". Sebagai catatan, khusus dari pomparan Guru Mangaloksa, setiap anggota marga-marga tersebut mengingat nomornya masing-masing, termasuk Boru. Semisal di Hutabarat, berkenalan seorang Hutabarat dengan seorang lain Hutabarat. Tidak lagi ditanya, Hutabarat Sosunggulon? atau Hapoltahan? atau Pohan? dst. Tetapi langsung ditanya, "nomor berapa"?, termasuk Boru. Sehingga masing-masing tahu "standing position", memanggil abang/adik, bapatua/bapauda, dst, termasuk "tutur" untuk Boru. Hal seperti ini perlu dicontoh karena dapat memotivasi orang lain mencari asal-usul ("identitas") "ha-batahonna", tentu setelah indentitas keyakinan dan kepercayaan masing-masing individu.

Raja Naipospos Raja Naipospos mempunyai 5 (lima) orang putera yang secara berurutan, yaitu:
  1. Donda Hopol, yang merupakan cikal-bakal marga Sibagariang
  2. Donda Ujung, yang merupakan cikal-bakal marga Hutauruk
  3. Ujung Tinumpak, yang merupakan cikal-bakal marga Simanungkalit
  4. Jamita Mangaraja, yang merupakan cikal-bakal marga Situmeang
  5. Marbun, yang merupakan cikal-bakal marga Marbun Lumban Batu, Marbun Banjar Nahor, Marbun Lumban Gaol

Padan atau janji antar marga

Dalam suku bangsa Batak, selain marga yang satu nenek moyang (satu marga) ditabukan untuk saling kawin, dikenal juga padan (janji atau ikrar) antar marga yang berbeda untuk tidak saling kawin. Marga-marga tersebut sebenarnya bukanlah satu nenek moyang lagi dalam rumpun persatuan atau pun paradaton, tetapi marga-marga tersebut telah diikat padan (janji atau ikrar) agar keturunan mereka tidak saling kawin oleh para nenek moyang pada zaman dahulu. Antar marga yang diikat padan itu disebut dongan padan.
Marga-marga yang mempunyai padan khusus untuk tidak saling kawin, anatara lain:
  1. Sihotang dengan Naipospos (Marbun)
  2. Naibaho dengan Sihombing Lumban Toruan
  3. Nainggolan dengan Siregar
  4. Tampubolon dengan Silalahi
  5. dan lain sebagainya

Sihotang dengan Naipospos (Marbun)

Seluruh keturunan Raja Naipospos diikat janji (padan) untuk tidak saling kawin dengan keturunan Raja Oloan yang bermarga Sihotang. Sehingga Sihotang disebut sebagai dongan padan. Memang pada awalnya pembentuk janji ini adalah Marbun. Namun ditarik suatu kesepakatan bersama bahwa keturunan Raja Naipospos bersaudara (na marhahamaranggi) dengan keturunan Sihotang. Hal ini dapat dilihat bersama bahwa hingga saat ini seluruh marga NAIPOSPOS SILIMA SAAMA (Sibagariang-Hutauruk-Simanungkalit-Situmeang-Marbun) tidak ada yang kawin dengan marga Sihotang. Pengalaman di lapangan bahwa memang ada-ada saja orang yang mempersoalkan padan ini. Mereka mengatakan bahwa hanya Marbun sajalah yang marpadan dengan Sihotang tanpa mengikutsertakan Sibagariang, Hutauruk, Simanungkalit, dan Situmeang. Perlu diketahui bersama bahwa telah ada ikrar (padan) para nenek moyang (ompu) bahwa padan ni hahana, padan ni angina; jala padan ni angina, padan ni hahana (ikrar kakanda juga ikrar adinda dan ikrar adinda juga ikrar kakanda). Benar Marbunlah pembentuk padan pertama terhadap Sihotang. Tetapi oleh karena Marbun sebagai anggi doli Sibagariang, Hutauruk, Simanungkalit, dan Situmeang, maka turut juga serta dalam padan dengan Sihotang. Contoh lain dapat pula dilihat bersama bahwa sesungguhnya Sibagariang tidaklah ada ikrar (padan) sama sekali untuk tidak saling kawin (masiolian) dengan Marbun. Tetapi oleh karena Hutauruk, Simanungkalit, dan Situmeang marpadan dengan Marbun untuk tidak saling kawin maka Sibagariang pun turut serta dengan sendirinya oleh karena ikrar (padan) para nenek moyang (ompu) yang telah disebutkan di atas. Sehingga suatu padan yang umum bahwa keturunan Raja Naipospos dari isteri I (Sibagariang, Hutauruk, Simanungkalit, dan Situmeang) tidak boleh saling kawin dengan keturunan Raja Naipospos dari isteri II (Marbun).
Demikian pula halnya seluruh marga-marga keturunan Raja Naipospos (Sibagariang, Hutauruk, Simanungkalit, Situmeang, Marbun Lumban Batu, Marbun Banjar Nahor, dan Marbun Lumban Gaol) tidak boleh saling kawin dengan keturunan Sihotang.

Sumber dan rujukan

  • Haran Sibagariang (Gelar: Ompu Basar Solonggaron), mantan Kepala Negeri Huta Raja sebagai sumber tertulis dalam buku sederhana susunannya sendiri tentang Raja Naipospos dan Keturunannya.
  • Laris Kaladius Sibagariang, seorang yang dituakan dan kepala adat di Huta Raja, Sipoholon sebagai sumber lisan.
  • W. M. Hutagalung, sebagai sumber pembanding dalam bukunya yang bejudul PUSTAHA BATAK Tarombo dohot Turiturian ni Bangso Batak
  • D. J. Gultom Raja Marpodang, sebagai sumber pembanding dalam bukunya yang berjudul Dalihan Natolu Nilai Budaya Suku Batak tentang marga keturunan Raja Batak

Sastra Indonesia Secara Umum




Sastra Indonesia, adalah sebuah istilah yang melingkupi berbagai macam karya sastra di Asia Tenggara. Istilah "Indonesia" sendiri mempunyai arti yang saling melengkapi terutama dalam cakupan geografi dan sejarah poltik di wilayah tersebut.

Sastra Indonesia sendiri dapat merujuk pada sastra yang dibuat di wilayah Kepulauan Indonesia. Sering juga secara luas dirujuk kepada sastra yang bahasa akarnya berdasarkan Bahasa Melayu (dimana bahasa Indonesia adalah satu turunannya). Dengan pengertian kedua maka sastra ini dapat juga diartikan sebagai sastra yang dibuat di wilayah Melayu (selain Indonesia, terdapat juga beberapa negara berbahasa Melayu seperti Malaysia dan Brunei), demikian pula bangsa Melayu yang tinggal di Singapura.

Periodisasi

Sastra Indonesia terbagi menjadi 2 bagian besar, yaitu:

• lisan
• tulisan

Secara urutan waktu maka sastra Indonesia terbagi atas beberapa angkatan:

• Angkatan Pujangga Lama
• Angkatan Sastra Melayu Lama
• Angkatan Balai Pustaka
• Angkatan Pujangga Baru
• Angkatan 1945
• Angkatan 1950 - 1960-an
• Angkatan 1966 - 1970-an
• Angkatan 1980 - 1990-an
• Angkatan Reformasi
• Angkatan 2000-an

Pujangga Lama

Pujangga lama merupakan bentuk pengklasifikasian karya sastra di Indonesia yang dihasilkan sebelum abad ke-20. Pada masa ini karya satra di dominasi oleh syair, pantun, gurindam dan hikayat.

Di Nusantara, budaya Melayu klasik dengan pengaruh Islam yang kuat meliputi sebagian besar negara pantai Sumatera dan Semenanjung Malaya.

Di Sumatera bagian utara muncul karya-karya penting berbahasa Melayu, terutama karya-karya keagamaan. Hamzah Fansuri adalah yang pertama di antara penulis-penulis utama angkatan Pujangga Lama. Dari istana Kesultanan Aceh pada abad XVII muncul karya-karya klasik selanjutnya, yang paling terkemuka adalah karya-karya Syamsuddin Pasai dan Abdurrauf Singkil, serta Nuruddin ar-Raniri.[1]

Karya Sastra Pujangga Lama

A. Sejarah
• Sejarah Melayu (Malay Annuals)

B. Hikayat
• Hikayat Abdullah
• Hikayat Aceh
• Hikayat Amir Hamzah
• Hikayat Andaken Penurat
• Hikayat Bayan Budiman
• Hikayat Djahidin
• Hikayat Hang Tuah
• Hikayat Iskandar Zulkarnain
• Hikayat Kadirun • Hikayat Kalila dan Damina
• Hikayat Masydulhak
• Hikayat Pandawa Jaya
• Hikayat Pandja Tanderan
• Hikayat Putri Djohar Manikam
• Hikayat Sri Rama
• Hikayat Tjendera Hasan
• Tsahibul Hikayat

C. Syair
• Syair Bidasari
• Syair Ken Tambuhan
• Syair Raja Mambang Jauhari
• Syair Raja Siak

D. Berbentuk Kitab agama
• Syarab al-'Asyiqin (Minuman Para Pecinta) oleh Hamzah Fansuri
• Asrar al-'Arifin (Rahasia-rahasia para Gnostik) oleh Hamzah Fansuri
• Nur ad-Daqa'iq (Cahaya pada kehalusan-kehalusan) oleh Syamsuddin Pasai
• Bustan as-Salatin (Taman raja-raja) oleh Nuruddin ar-Raniri

Sastra Melayu Lama

Karya sastra di Indonesia yang dihasilkan antara tahun 1870 - 1942, yang berkembang dilingkungan masyarakat Sumatera seperti "Langkat, Tapanuli, Minangkabau dan daerah Sumatera lainnya", orang Tionghoa dan masyarakat Indo-Eropa. Karya sastra pertama yang terbit sekitar tahun 1870 masih dalam bentuk syair, hikayat dan terjemahan novel barat.

Karya Sastra Melayu Lama

• Robinson Crusoe (terjemahan)
• Lawan-lawan Merah
• Mengelilingi Bumi dalam 80 hari (terjemahan)
• Graaf de Monte Cristo (terjemahan)
• Kapten Flamberger (terjemahan)
• Rocambole (terjemahan)
• Nyai Dasima oleh G. Francis (Indo)
• Bunga Rampai oleh A.F van Dewall
• Kisah Perjalanan Nakhoda Bontekoe
• Kisah Pelayaran ke Pulau Kalimantan
• Kisah Pelayaran ke Makassar dan lain-lainnya
• Cerita Siti Aisyah oleh H.F.R Kommer (Indo)
• Cerita Nyi Paina
• Cerita Nyai Sarikem
• Cerita Nyonya Kong Hong Nio • Nona Leonie
• Warna Sari Melayu oleh Kat S.J
• Cerita Si Conat oleh F.D.J. Pangemanan
• Cerita Rossina
• Nyai Isah oleh F. Wiggers
• Drama Raden Bei Surioretno
• Syair Java Bank Dirampok
• Lo Fen Kui oleh Gouw Peng Liang
• Cerita Oey See oleh Thio Tjin Boen
• Tambahsia
• Busono oleh R.M.Tirto Adhi Soerjo
• Nyai Permana
• Hikayat Siti Mariah oleh Hadji Moekti (indo)
• dan masih ada sekitar 3000 judul karya sastra Melayu-Lama lainnya

Angkatan Balai Pustaka

Angkatan Balai Pusataka merupakan karya sastra di Indonesia yang terbit sejak tahun 1920, yang dikeluarkan oleh penerbit Balai Pustaka. Prosa (roman, novel, cerita pendek dan drama) dan puisi mulai menggantikan kedudukan syair, pantun, gurindam dan hikayat dalam khazanah sastra di Indonesia pada masa ini.

Balai Pustaka didirikan pada masa itu untuk mencegah pengaruh buruk dari bacaan cabul dan liar yang dihasilkan oleh sastra Melayu Rendah yang banyak menyoroti kehidupan pernyaian (cabul) dan dianggap memiliki misi politis (liar). Balai Pustaka menerbitkan karya dalam tiga bahasa yaitu bahasa Melayu-Tinggi, bahasa Jawa dan bahasa Sunda; dan dalam jumlah terbatas dalam bahasa Bali, bahasa Batak, dan bahasa Madura.

Nur Sutan Iskandar dapat disebut sebagai "Raja Angkatan Balai Pustaka" oleh sebab banyak karya tulisnya pada masa tersebut. Apabila dilihat daerah asal kelahiran para pengarang, dapatlah dikatakan bahwa novel-novel Indonesia yang terbit pada angkatan ini adalah "novel Sumatera", dengan Minangkabau sebagai titik pusatnya.[2]
Pada masa ini, novel Siti Nurbaya dan Salah Asuhan menjadi karya yang cukup penting. Keduanya menampilkan kritik tajam terhadap adat-istiadat dan tradisi kolot yang membelenggu. Dalam perkembangannya, tema-teman inilah yang banyak diikuti oleh penulis-penulis lainnya pada masa itu.

Penulis dan Karya Sastra Angkatan Balai Pustaka:

Merari Siregar
• Azab dan Sengsara (1920)
• Binasa kerna Gadis Priangan (1931)
• Cinta dan Hawa Nafsu

Marah Roesli
• Siti Nurbaya (1922)
• La Hami (1924)
• Anak dan Kemenakan (1956)

Muhammad Yamin
• Tanah Air (1922)
• Indonesia, Tumpah Darahku (1928)
• Kalau Dewi Tara Sudah Berkata
• Ken Arok dan Ken Dedes (1934)

Nur Sutan Iskandar
• Apa Dayaku karena Aku Seorang Perempuan (1923)
• Cinta yang Membawa Maut (1926)
• Salah Pilih (1928)
• Karena Mertua (1932)
• Tuba Dibalas dengan Susu (1933)
• Hulubalang Raja (1934)
• Katak Hendak Menjadi Lembu (1935)

Tulis Sutan Sati
• Tak Disangka (1923)
• Sengsara Membawa Nikmat (1928)
• Tak Membalas Guna (1932)
• Memutuskan Pertalian (1932)

Djamaluddin Adinegoro
• Darah Muda (1927)
• Asmara Jaya (1928)

Abas Soetan Pamoentjak
• Pertemuan (1927)

Abdul Muis
• Salah Asuhan (1928)
• Pertemuan Djodoh (1933)

Aman Datuk Madjoindo
• Menebus Dosa (1932)
• Si Cebol Rindukan Bulan (1934)
• Sampaikan Salamku Kepadanya (1935)

Pujangga Baru

Pujangga Baru muncul sebagai reaksi atas banyaknya sensor yang dilakukan oleh Balai Pustaka terhadap karya tulis sastrawan pada masa tersebut, terutama terhadap karya sastra yang menyangkut rasa nasionalisme dan kesadaran kebangsaan. Sastra Pujangga Baru adalah sastra intelektual, nasionalistik dan elitis.

Pada masa itu, terbit pula majalah Pujangga Baru yang dipimpin oleh Sutan Takdir Alisjahbana, beserta Amir Hamzah dan Armijn Pane. Karya sastra di Indonesia setelah zaman Balai Pustaka (tahun 1930 - 1942), dipelopori oleh Sutan Takdir Alisyahbana. Karyanya Layar Terkembang, menjadi salah satu novel yang sering diulas oleh para kritikus sastra Indonesia. Selain Layar Terkembang, pada periode ini novel Tenggelamnya Kapal van der Wijck dan Kalau Tak Untung menjadi karya penting sebelum perang.

Masa ini ada dua kelompok sastrawan Pujangga baru yaitu:

1. Kelompok "Seni untuk Seni" yang dimotori oleh Sanusi Pane dan Tengku Amir Hamzah

2. Kelompok "Seni untuk Pembangunan Masyarakat" yang dimotori oleh Sutan Takdir Alisjahbana, Armijn Pane dan Rustam Effendi.

Penulis dan Karya Sastra Pujangga Baru

Sutan Takdir Alisjahbana
o Dian Tak Kunjung Padam (1932)
o Tebaran Mega - kumpulan sajak (1935)
o Layar Terkembang (1936)
o Anak Perawan di Sarang Penyamun (1940)

Hamka
o Di Bawah Lindungan Ka'bah (1938)
o Tenggelamnya Kapal Van der Wijck (1939)
o Tuan Direktur (1950)
o Didalam Lembah Kehidoepan (1940)

Armijn Pane
o Belenggu (1940)
o Jiwa Berjiwa
o Gamelan Djiwa - kumpulan sajak (1960)
o Djinak-djinak Merpati - sandiwara (1950)
o Kisah Antara Manusia - kumpulan cerpen (1953)

Sanusi Pane
o Pancaran Cinta (1926)
o Puspa Mega (1927)
o Madah Kelana (1931)
o Sandhyakala Ning Majapahit (1933)
o Kertajaya (1932)

Tengku Amir Hamzah
o Nyanyi Sunyi (1937)
o Begawat Gita (1933)
o Setanggi Timur (1939)

Roestam Effendi
o Bebasari: toneel dalam 3 pertundjukan
o Pertjikan Permenungan

Sariamin Ismail
o Kalau Tak Untung (1933)
o Pengaruh Keadaan (1937)

Anak Agung Pandji Tisna
o Ni Rawit Ceti Penjual Orang (1935)
o Sukreni Gadis Bali (1936)
o I Swasta Setahun di Bedahulu (1938)

J.E.Tatengkeng
o Rindoe Dendam (1934)

Fatimah Hasan Delais
o Kehilangan Mestika (1935)

Said Daeng Muntu
o Pembalasan
o Karena Kerendahan Boedi (1941)

Karim Halim
o Palawija (1944)

Angkatan 1945

Pengalaman hidup dan gejolak sosial-politik-budaya telah mewarnai karya sastrawan Angkatan '45. Karya sastra angkatan ini lebih realistik dibanding karya Angkatan Pujangga baru yang romantik-idealistik.

Karya-karya sastra pada angkatan ini banyak bercerita tentang perjuangan merebut kemerdekaan seperti halnya puisi-puisi Chairil Anwar. Sastrawan angkatan '45 memiliki konsep seni yang diberi judul "Surat Kepercayaan Gelanggang". Konsep ini menyatakan bahwa para sastrawan angkatan '45 ingin bebas berkarya sesuai alam kemerdekaan dan hati nurani.

Selain Tiga Manguak Takdir, pada periode ini cerpen Dari Ave Maria ke Jalan Lain ke Roma dan Atheis dianggap sebagai karya pembaharuan prosa Indonesia.

Penulis dan Karya Sastra Angkatan 1945

Chairil Anwar
o Kerikil Tajam (1949)
o Deru Campur Debu (1949)
• Asrul Sani, bersama Rivai Apin dan Chairil Anwar
o Tiga Menguak Takdir (1950)

Idrus
o Dari Ave Maria ke Djalan Lain ke Roma (1948)
o Aki (1949)
o Perempuan dan Kebangsaan

Achdiat K. Mihardja
o Atheis (1949)

Trisno Sumardjo
o Katahati dan Perbuatan (1952)

Utuy Tatang Sontani
o Suling (drama) (1948)
o Tambera (1949)
o Awal dan Mira - drama satu babak (1962)

Suman Hs.
o Kasih Ta' Terlerai (1961)
o Mentjari Pentjuri Anak Perawan (1957)
o Pertjobaan Setia (1940)

Angkatan 1950 - 1960-an

Angkatan 50-an ditandai dengan terbitnya majalah sastra Kisah asuhan H.B. Jassin. Ciri angkatan ini adalah karya sastra yang didominasi dengan cerita pendek dan kumpulan puisi. Majalah tersebut bertahan sampai tahun 1956 dan diteruskan dengan majalah sastra lainnya, Sastra.

Pada angkatan ini muncul gerakan komunis dikalangan sastrawan, yang bergabung dalam Lembaga Kebudajaan Rakjat (Lekra) yang berkonsep sastra realisme-sosialis. Timbullah perpecahan dan polemik yang berkepanjangan diantara kalangan sastrawan di Indonesia pada awal tahun 1960; menyebabkan mandegnya perkembangan sastra karena masuk kedalam politik praktis dan berakhir pada tahun 1965 dengan pecahnya G30S di Indonesia.

Penulis dan Karya Sastra Angkatan 1950 - 1960-an

Pramoedya Ananta Toer
o Kranji dan Bekasi Jatuh (1947)
o Bukan Pasar Malam (1951)
o Di Tepi Kali Bekasi (1951)
o Keluarga Gerilya (1951)
o Mereka yang Dilumpuhkan (1951)
o Perburuan (1950)
o Cerita dari Blora (1952)
o Gadis Pantai (1965)

• Nh. Dini
o Dua Dunia (1950)
o Hati jang Damai (1960)

Sitor Situmorang
o Dalam Sadjak (1950)
o Djalan Mutiara: kumpulan tiga sandiwara (1954)
o Pertempuran dan Saldju di Paris (1956)
o Surat Kertas Hidjau: kumpulan sadjak (1953)
o Wadjah Tak Bernama: kumpulan sadjak (1955)

Mochtar Lubis
o Tak Ada Esok (1950)
o Jalan Tak Ada Ujung (1952)
o Tanah Gersang (1964)
o Si Djamal (1964)

Marius Ramis Dayoh
o Putra Budiman (1951)
o Pahlawan Minahasa (1957)

Ajip Rosidi
o Tahun-tahun Kematian (1955)
o Ditengah Keluarga (1956)
o Sebuah Rumah Buat Hari Tua (1957)
o Cari Muatan (1959)
o Pertemuan Kembali (1961)

Ali Akbar Navis
o Robohnya Surau Kami - 8 cerita pendek pilihan (1955)
o Bianglala - kumpulan cerita pendek (1963)
o Hujan Panas (1964)
o Kemarau (1967)

Toto Sudarto Bachtiar
o Etsa sajak-sajak (1956)
o Suara - kumpulan sajak 1950-1955 (1958)

Ramadhan K.H
o Priangan si Jelita (1956)

W.S. Rendra
o Balada Orang-orang Tercinta (1957)
o Empat Kumpulan Sajak (1961)
o Ia Sudah Bertualang (1963)

Subagio Sastrowardojo
o Simphoni (1957)

Nugroho Notosusanto
o Hujan Kepagian (1958)
o Rasa Sajangé (1961)
o Tiga Kota (1959)

Trisnojuwono
o Angin Laut (1958)
o Dimedan Perang (1962)
o Laki-laki dan Mesiu (1951)

Toha Mochtar
o Pulang (1958)
o Gugurnya Komandan Gerilya (1962)
o Daerah Tak Bertuan (1963)

Purnawan Tjondronagaro
o Mendarat Kembali (1962)

Bokor Hutasuhut
o Datang Malam (1963)

Angkatan 1966 - 1970-an

Angkatan ini ditandai dengan terbitnya Horison (majalah sastra) pimpinan Mochtar Lubis.[3] Semangat avant-garde sangat menonjol pada angkatan ini. Banyak karya sastra pada angkatan ini yang sangat beragam dalam aliran sastra dengan munculnya karya sastra beraliran surealistik, arus kesadaran, arketip, dan absurd.

Penerbit Pustaka Jaya sangat banyak membantu dalam menerbitkan karya-karya sastra pada masa ini. Sastrawan pada angkatan 1950-an yang juga termasuk dalam kelompok ini adalah Motinggo Busye, Purnawan Tjondronegoro, Djamil Suherman, Bur Rasuanto, Goenawan Mohamad, Sapardi Djoko Damono dan Satyagraha Hoerip Soeprobo dan termasuk paus sastra Indonesia, H.B. Jassin.

Beberapa satrawan pada angkatan ini antara lain: Umar Kayam, Ikranegara, Leon Agusta, Arifin C. Noer, Darmanto Jatman, Arief Budiman, Goenawan Mohamad, Budi Darma, Hamsad Rangkuti, Putu Wijaya, Wisran Hadi, Wing Kardjo, Taufik Ismail, dan banyak lagi yang lainnya.

Penulis dan Karya Sastra Angkatan 1966

Taufik Ismail
o Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia
o Tirani dan Benteng
o Buku Tamu Musim Perjuangan
o Sajak Ladang Jagung
o Kenalkan
o Saya Hewan
o Puisi-puisi Langit

Sutardji Calzoum Bachri
o O
o Amuk
o Kapak

Abdul Hadi WM
o Meditasi (1976)
o Potret Panjang Seorang Pengunjung Pantai Sanur (1975)
o Tergantung Pada Angin (1977)

Sapardi Djoko Damono
o Dukamu Abadi (1969)
o Mata Pisau (1974)

Goenawan Mohamad
o Parikesit (1969)
o Interlude (1971)
o Potret Seorang Penyair Muda Sebagai Si Malin Kundang (1972)
o Seks, Sastra, dan Kita (1980)

Umar Kayam
o Seribu Kunang-kunang di Manhattan
o Sri Sumarah dan Bawuk
o Lebaran di Karet
o Pada Suatu Saat di Bandar Sangging
o Kelir Tanpa Batas
o Para Priyayi
o Jalan Menikung

Danarto
o Godlob
o Adam Makrifat
o Berhala

Nasjah Djamin
o Hilanglah si Anak Hilang (1963)
o Gairah untuk Hidup dan untuk Mati (1968)

Putu Wijaya
o Bila Malam Bertambah Malam (1971)
o Telegram (1973)
o Stasiun (1977)
o Pabrik
o Gres
o Bom

Djamil Suherman
o Perjalanan ke Akhirat (1962)
o Manifestasi (1963)

Titis Basino
o Dia, Hotel, Surat Keputusan (1963)
o Lesbian (1976)
o Bukan Rumahku (1976)
o Pelabuhan Hati (1978)
o Pelabuhan Hati (1978)

Leon Agusta
o Monumen Safari (1966)
o Catatan Putih (1975)
o Di Bawah Bayangan Sang Kekasih (1978)
o Hukla (1979)

Iwan Simatupang
o Ziarah (1968)
o Kering (1972)
o Merahnya Merah (1968)
o Keong (1975)
o RT Nol/RW Nol
o Tegak Lurus Dengan Langit

M.A Salmoen
o Masa Bergolak (1968)

Parakitri Tahi Simbolon
o Ibu (1969)

Chairul Harun
o Warisan (1979)

Kuntowijoyo
o Khotbah di Atas Bukit (1976)

M. Balfas
o Lingkaran-lingkaran Retak (1978)

Mahbub Djunaidi
o Dari Hari ke Hari (1975)

Wildan Yatim
o Pergolakan (1974)

Harijadi S. Hartowardojo
o Perjanjian dengan Maut (1976)

Ismail Marahimin
o Dan Perang Pun Usai (1979)

Wisran Hadi
o Empat Orang Melayu
o Jalan Lurus

Angkatan 1980 - 1990an

Karya sastra di Indonesia pada kurun waktu setelah tahun 1980, ditandai dengan banyaknya roman percintaan, dengan sastrawan wanita yang menonjol pada masa tersebut yaitu Marga T. Karya sastra Indonesia pada masa angkatan ini tersebar luas diberbagai majalah dan penerbitan umum.

Beberapa sastrawan yang dapat mewakili angkatan dekade 1980-an ini antara lain adalah: Remy Sylado, Yudistira Ardinugraha, Noorca Mahendra, Seno Gumira Ajidarma, Pipiet Senja, Kurniawan Junaidi, Ahmad Fahrawie, Micky Hidayat, Arifin Noor Hasby, Tarman Effendi Tarsyad, Noor Aini Cahya Khairani, dan Tajuddin Noor Ganie.

Nh. Dini (Nurhayati Dini) adalah sastrawan wanita Indonesia lain yang menonjol pada dekade 1980-an dengan beberapa karyanya antara lain: Pada Sebuah Kapal, Namaku Hiroko, La Barka, Pertemuan Dua Hati, dan Hati Yang Damai. Salah satu ciri khas yang menonjol pada novel-novel yang ditulisnya adalah kuatnya pengaruh dari budaya barat, di mana tokoh utama biasanya mempunyai konflik dengan pemikiran timur.

Mira W dan Marga T adalah dua sastrawan wanita Indonesia yang menonjol dengan fiksi romantis yang menjadi ciri-ciri novel mereka. Pada umumnya, tokoh utama dalam novel mereka adalah wanita. Bertolak belakang dengan novel-novel Balai Pustaka yang masih dipengaruhi oleh sastra Eropa abad ke-19 dimana tokoh utama selalu dimatikan untuk menonjolkan rasa romantisme dan idealisme, karya-karya pada era 1980-an biasanya selalu mengalahkan peran antagonisnya.

Namun yang tak boleh dilupakan, pada era 1980-an ini juga tumbuh sastra yang beraliran pop, yaitu lahirnya sejumlah novel populer yang dipelopori oleh Hilman Hariwijaya dengan serial Lupusnya. Justru dari kemasan yang ngepop inilah diyakini tumbuh generasi gemar baca yang kemudian tertarik membaca karya-karya yang lebih berat.

Ada nama-nama terkenal muncul dari komunitas Wanita Penulis Indonesia yang dikomandani Titie Said, antara lain: La Rose, Lastri Fardhani, Diah Hadaning, Yvonne de Fretes, dan Oka Rusmini.

Penulis dan Karya Sastra Angkatan 1980 - 1990an

Ahmadun Yosi Herfanda
o Ladang Hijau (1980)
o Sajak Penari (1990)
o Sebelum Tertawa Dilarang (1997)
o Fragmen-fragmen Kekalahan (1997)
o Sembahyang Rumputan (1997)

Y.B Mangunwijaya
o Burung-burung Manyar (1981)

Darman Moenir
o Bako (1983)
o Dendang (1988)

Budi Darma
o Olenka (1983)
o Rafilus (1988)

Sindhunata
o Anak Bajang Menggiring Angin (1984)

Arswendo Atmowiloto
o Canting (1986)

Hilman Hariwijaya
o Lupus - 28 novel (1986-2007)
o Lupus Kecil - 13 novel (1989-2003)
o Olga Sepatu Roda (1992)
o Lupus ABG - 11 novel (1995-2005)

Dorothea Rosa Herliany
o Nyanyian Gaduh (1987)
o Matahari yang Mengalir (1990)
o Kepompong Sunyi (1993)
o Nikah Ilalang (1995)
o Mimpi Gugur Daun Zaitun (1999)

Gustaf Rizal
o Segi Empat Patah Sisi (1990)
o Segi Tiga Lepas Kaki (1991)
o Ben (1992)
o Kemilau Cahaya dan Perempuan Buta (1999)

Remy Sylado
o Ca Bau Kan (1999)
o Kerudung Merah Kirmizi (2002)

Afrizal Malna
o Tonggak Puisi Indonesia Modern 4 (1987)
o Yang Berdiam Dalam Mikropon (1990)
o Cerpen-cerpen Nusantara Mutakhir (1991)
o Dinamika Budaya dan Politik (1991)
o Arsitektur Hujan (1995)
o Pistol Perdamaian (1996)

Angkatan Reformasi

Seiring terjadinya pergeseran kekuasaan politik dari tangan Soeharto ke BJ Habibie lalu KH Abdurahman Wahid (Gus Dur) dan Megawati Sukarnoputri, muncul wacana tentang "Sastrawan Angkatan Reformasi".

Munculnya angkatan ini ditandai dengan maraknya karya-karya sastra, puisi, cerpen, maupun novel, yang bertema sosial-politik, khususnya seputar reformasi. Di rubrik sastra harian Republika misalnya, selama berbulan-bulan dibuka rubrik sajak-sajak peduli bangsa atau sajak-sajak reformasi. Berbagai pentas pembacaan sajak dan penerbitan buku antologi puisi juga didominasi sajak-sajak bertema sosial-politik.

Sastrawan Angkatan Reformasi merefleksikan keadaan sosial dan politik yang terjadi pada akhir tahun 1990-an, seiring dengan jatuhnya Orde Baru. Proses reformasi politik yang dimulai pada tahun 1998 banyak melatarbelakangi kelahiran karya-karya sastra -- puisi, cerpen, dan novel -- pada saat itu. Bahkan, penyair-penyair yang semula jauh dari tema-tema sosial politik, seperti Sutardji Calzoum Bachri, Ahmadun Yosi Herfanda, Acep Zamzam Noer, dan Hartono Benny Hidayat dengan media online: duniasastra(dot)com -nya, juga ikut meramaikan suasana dengan sajak-sajak sosial-politik mereka.

Penulis dan Karya Sastra Angkatan Reformasi

Widji Thukul
o Puisi Pelo
o Darman

Angkatan 2000-an

Setelah wacana tentang lahirnya sastrawan Angkatan Reformasi muncul, namun tidak berhasil dikukuhkan karena tidak memiliki juru bicara, Korrie Layun Rampan pada tahun 2002 melempar wacana tentang lahirnya "Sastrawan Angkatan 2000". Sebuah buku tebal tentang Angkatan 2000 yang disusunnya diterbitkan oleh Gramedia, Jakarta pada tahun 2002.

Seratus lebih penyair, cerpenis, novelis, eseis, dan kritikus sastra dimasukkan Korrie ke dalam Angkatan 2000, termasuk mereka yang sudah mulai menulis sejak 1980-an, seperti Afrizal Malna, Ahmadun Yosi Herfanda dan Seno Gumira Ajidarma, serta yang muncul pada akhir 1990-an, seperti Ayu Utami dan Dorothea Rosa Herliany.

Penulis dan Karya Sastra Angkatan 2000

Ayu Utami
o Saman (1998)
o Larung (2001)
Seno Gumira Ajidarma
o Atas Nama Malam
o Sepotong Senja untuk Pacarku
o Biola Tak Berdawai
Dewi Lestari
o Supernova 1: Ksatria, Puteri dan Bintang Jatuh (2001)
o Supernova 2.1: Akar (2002)
o Supernova 2.2: Petir (2004)
Habiburrahman El Shirazy
o Ayat-Ayat Cinta (2004)
o Di atas Sajadah Cinta (2004)
o Ketika Cinta Berbuah Surga (2005)
o Pudarnya Pesona Cleopatra (2005)
o Ketika Cinta Bertasbih 1 (2007)
o Ketika Cinta Bertasbih 2 (2007)
o Dalam Mihrab Cinta (2007)
Andrea Hirata
o Laskar Pelangi (2005)
o Sang Pemimpi (2006)
o Edensor (2007)
o Maryamah Karpov (2008)
o Padang Bulan (2010)
o Cinta Dalam Gelas (2010)
Ahmad Fuadi
o Negeri 5 Menara (2009)
Tosa
o Lukisan Jiwa (puisi) (2009)
o Melan Conis (2009)

Era Cybersastra

Era internet memasuki komunitas sastra di Indonesia. Banyak karya sastra Indonesia yang tidak dipublikasi berupa buku namun termaktub di dunia maya (Internet), baik yang dikelola resmi oleh pemerintah, organisasi non-profit, maupun situs pribadi. Ada beberapa situs Sastra Indonesia di dunia maya semisal : duniasatra(dot)com.

Pranala luar

http://www.sumpahpalapa.com/ (lihat link sastra)
http://www.cybersastra.net/

Referensi
1. ^ Ricklefs, M.C. (29 September 1991). A History of Modern Indonesia 1200-2004. London: MacMillan. hlm. 117.
2. ^ Mahayana, Maman S, Oyon Sofyan (29 September 1991). Ringkasan dan Ulasan Novel Indonesia Modern. Jakarta: Grasindo. hlm. 370.
3. ^ Yudiono (29 September 2010). Pengantar Sejarah Sastra Indonesia. Jakarta: Grasindo. hlm. 167.

Arah Dairi Kedepannya

                                                     Arah Kabupaten Dairi Kedepannya Sebagai penduduk Kabupaten Dairi yang sedang merantau, ...