Terima kasih telah membuatku
terus berjalan menujumu, meski kadang tersendat-sendat, kadang jalanan
berkabut, hujan bahkan aku tidak tahu arah menujumu lagi. Kadang aku ragu pada
diriku sendiri, ragu kepada keputusanku untuk terus berjalan, tetapi matahari
masih terbit di timur dan senja masih datang saat malam menjelang, aku masih
tetap menuntun langkahku menujumu. Menuju beningnya tatapan sayumu, rasanya aku
tidak bisa membedakan antara rasa senang dan kuatirku. Aku senang
memandanginya, tetapi kuatir tidak bisa memilikinya. Mendengar ucapanmu yang
selalu mengalir dengan ceria, aku hampir tidak bisa memutuskan apakah aku harus
mengingat atau melupakannya. Mengingatnya membuatku selalu ingin mendengarkanmu
berbicara, tetapi melupakannya akan membuatku kehilangan jejakmu.
Aku tahu, jalanan ini selalu
berbatu saat aku menujumu. Banyak persimpangan yang buatku ragu, terkadang
hujan mengguyur impianku, angin menghembusnya. Tetapi perjalanan tetaplah
perjalanan untuk sebuah pembentukan dan persiapan, aku memang tidak tahu kemana
aku melangkah, tetapi aku tahu langkahku menujumu.
Sebenarnya, ada banyak cerita dalam
perjalanan ini. Tentang angin dan debu yang selalu menerpa, bunga di tepi jalan
yang selalu menggoda, daun-daun gugur yang menutupi jejakmu dan buatku
kehilangan arah.
Tetapi, sekali lagi terima kasih!
Senyummu tetap menuntunku dalam
ilusi, memberi warna pada tiap harapan yang pudar.
Aku tahu, aku dan engkau terpisah
waktu yang membuatku tidak tahu seberapa lama dan sampai kapan harus tetap
berjalan. Aku juga tahu, kita tidak jauh terpisah jarak, tetapi rasanya sangat
jauh menujumu. Sama seperti menuju sesuatu yang semu bagiku.
Tetapi, entahlah. Aku tidak tahu
apakah engkau pernah tahu bahwa dalam perjalananku menujumu aku pernah
menjadikanmu puisi, agar bersama kata-kata kau bisa abadi(1).
Memang aku akui, setiap
perjalanan akan menyisakan ceritanya sendiri. Kadang aku ingin menciptakan
tujuan baru dalam perjalanan ini, tetapi rasanya itu adalah pekerjaan sia-sia
karena alur ceritaku selalu tentangmu. Ini adalah untuk kali yang kesekian aku
memahami terjal yang membentang didepanku, tebing yang curam dan berkabut
membuatku tidak tahu apakah aku harus tetap melangkah menujumu. Tetapi aku
tetap pada keyakinanku, akan selalu ada ujung jalan saat engkau berhenti disana
dan (mungkin) menungguku, akan ada tempat untukku singgah sebentar untuk
memutuskan apakah aku akan bersamamu atau akan tetap kembali berjalan sendiri tanpa
arah yang pasti (meski sebenarnya aku selalu berdoa untuk bisa tinggal
selamanya menghabiskan sisa waktu bersamamu).
Selama engkau belum memilih untuk
singgah, berhenti dan menetap disuatu tempat. Aku rasa, aku masih punya waktu
menujumu. Aku hanya berdoa kepada TUHAN kita, semoga tidak ada musim gugur,
musim salju atau bahkan badai yang menghalangi perjalananmu agar engkau tetap
dapat melaju tanpa harus singgah dan berhenti dijalanmu. Dan selama engkau
belum memutuskan untuk singgah aku akan tetap melangkah..