Selasa, 19 November 2013

Renungan : Nyanyian sukacita

Nyanyian Sukacita
Oleh Gde Prama

Meminjam penemuan sejumlah riset, manusia tatkala masih bayi tersenyum ratusan kali tiap hari. Begitu menginjak dewasa hanya tersenyum beberapa kali saja. Segelintir orang tua yang menderita bahkan tidak pernah tersenyum. Ini menimbulkan pertanyaan, kemana energi sukacita manusia dibawa pergi oleh waktu?

Tubuh Luar

Presiden Barrack Obama di Amerika Serikat adalah contoh yang baik. Sebelum jadi presiden, tubuh luarnya bercahaya sekali. Di tahun-tahun awal jadi presiden bahkan menerima hadiah Nobel Perdamaian. Tapi di tahun 2013 ini, sulit untuk tidak mengatakan ada cahaya yang meredup di sana.

Ini menghadirkan bahan renungan, ada apa dengan kekuasaan dan kekayaan, sehingga bisa membuat cahaya manusia meredup. Ilmu kedokteran memang menemukan bidang anti penuaan, ahli gizi sudah meneliti tubuh manusia, tapi tetap saja tidak bisa mengerem meredupnya cahaya manusia yang menua. Sejujurnya, cahaya tubuh luar yang meredup tidak saja dialami Obama. Ia dialami banyak politisi, orang kaya, orang berpengaruh. Mantan Menteri Luar Negeri AS Hillary Clinton bahkan harus berhenti di tengah jalan karena sakit.

Sejujurnya, semakin tua manusia semakin ia memerlukan cahaya. Lebih-lebih di depan kematian, tanpa bekal cahaya maka perjalanan berikutnya sangat menakutkan. Sebagaimana kerap terdengar di alam spiritual, ia yang di dalamnya cahaya akan berjumpa cahaya di mana-mana, ia yang di dalamnya kegelapan akan berjumpa kegelapan di mana-mana.

Tubuh Dalam

Itu sebabnya, penekun spiritual mendalam lebih berkonsentrasi pada tubuh dalam. Tubuh luar biasanya dibungkus sesederhana mungkin. Tapi tubuh dalam dari perasaan, persepsi, formasi mental, kesadaran semua dirawat sebaik mungkin. Dan meditasi adalah salah satu cara merawat tubuh dalam agar indah.

Dalam meditasi, apa pun bentuk perasaan (senang-sedih), persepsi (benar-salah), formasi mental (suka-duka), kesadaran dengan segala bentuk dualitasnya, semuanya diberikan jarak yang sama, semuanya disambut dengan senyuman yang juga sama. Sebelum disentuh meditasi, tubuh dalam digenggam dan dicengkram oleh dualitas, kemudian mengalami banyak kekacauan. Begitu disentuh meditasi mendalam, tidak saja genggamannya melonggar, tubuh dalam mulai menghirup hawa segar kedamaian.

Dengan hawa segar kedamaian, lebih mudah bagi tubuh dalam untuk melahirkan cahaya. Dalam cerita para master seperti J. Rumi, Mahatma Gandhi, J. Krishnamurti, Bunda Teresa cahaya itu bahkan masih memancar jauh setelah tubuh luarnya wafat.

Tubuh Rahasia

Tubuh rahasia tentu saja rahasia. Berbahaya membuka rahasia ini ke sembarang orang di sembarang tempat. Itu sebabnya, tubuh rahasia ini diceritakan melalui bahasa-bahasa puitis yang sangat halus. Sehingga hanya dimengerti oleh orang-orang yang di dalamnya juga halus.

Coba perhatikan lirik lagu anak-anak berikut: “Di pucuk pohon cempaka. Burung kutilang bernyanyi. Bersiul-siul sepanjang hari. Dengan tak jemu-jemu. Mengangguk-angguk sambil berseru. Trilili lili lili lili”. Pesannya sederhana, burung damai jadi burung buktinya ia bernyanyi. Pohon damai jadi pohon, makanya ia hening. Bila burung damai jadi burung, pohon damai jadi pohon, kenapa banyak manusia tidak damai jadi manusia?

Dalam bahasa puitis Mundaka Upanishad: “From joy springs all creation. By joy it is sustained. Toward joy it proceeds. And to joy it returns“. Di tingkat tubuh rahasia (baca: pencerahan) dari awal yang tidak berawal hingga akhir yang tidak berakhir, kehidupan adalah nyanyian sukacita.

Renungan : Jejaring Kesembuhan

Jejaring Kesembuhan
Gde Prama

Tidak ada manusia yang berdoa agar sakit. Kendati demikian, di setiap pojokan kehidupan hadir penderitaan. Bisa dimaklumi kalau organisasi kesehatan dunia WHO meramalkan, di tahun 2020 sakit mental akan jauh lebih mengkhawatirkan.

Daun Kering Rasa Sakit

Di Barat sana di mana ilmu pengetahuan dan teknologi tumbuh demikian pesatnya, sudah mulai banyak pakar kesehatan yang menyadari bahwa sakit fisik serupa daun kering di permukaan. Tatkala tubuh sakit, memang terjadi ketidakseimbangan kimiawi di dalam, yang membuat dokter khususnya mengintervensinya dengan obat kimia. Sesuatu yang layak dihormati.

Sayangnya, intervensi kimiawi saja kerap bernasib serupa daun kering yang hanya disirami daunnya saja. Batang apa lagi akarnya jarang sekali disentuh oleh langkah-langkah kesembuhan. Ini yang menjelaskan, bahkan di negara seperti Amerika Serikat pun sakit mental menakutkan. Riset kebahagiaan dunia di tahun 2012 menunjukkan, AS bahkan tidak masuk dalam sepuluh besar bangsa yang bahagia.

Padahal perusahaan farmasi, penelitian farmasi, dokter semuanya berlimpah di sana. Ini menghadirkan bahan renungan, kita memerlukan pengetahuan lebih dalam dari sekadar daun berupa sakit fisik.

Batang Pohon Kering Emosi

Dulu sekali, biologi dan psikologi adalah dua disiplin yang sulit ketemu. Tapi belakangan, hubungan keduanya sangat erat. Meminjam penemuan psikoterapis berpengalaman dari Washington bernama Kari Joys, ketegangan dalam tubuh terkait erat dengan ketidakseimbangan emosi seseorang.

Ketegangan di perut, dekat dengan rasa marah dan takut. Ketegangan di dada terkait dengan kesedihan. Ketegangan di punggung belakang berhubungan dengan rasa frustrasi. Terang sekali kelihatan, ada bibit-bibit emosi dalam rasa sakit fisik.

Intervensi kimiawi lewat obat memang membantu. Seperti menyirami daun kering, air yang disiramkan tentu saja membantu. Tapi ia sangat sementara sekaligus sangat di permukaan. Apa yang dilakukan psikoterapi berpengalaman seperti Kari Joys, ia mulai mengintegrasikan pengetahuan dan spiritualitas. Rasa sakit fisik daunnya, ketidakseimbangan emosi batangnya, akarnya adalah keterhubungan spiritual.

Akar Berupa Keterhubungan Spiritual

Fritjof Capra di fisika, Gregory Bateson di antropologi, Kari Joys di psikologi hanya sebagian kecil ilmuwan yang sudah berjalan jauh dalam mengintegrasikan pengetahuan dan spiritualitas. Tesis orang seperti ini mirip dengan salah satu judul buku Fritjof Capra yakni “The Hidden Connections“. Ada jejaring tersembunyi yang menghubungkan semuanya.

Dalam konteks kesembuhan, jejaring yang menyembuhkan itu bernama sukacita. Perhatikan para sahabat yang terkena penyakit mental kronis, mereka tidak terhubung dengan jejaring kesembuhan yang ada di alam. Akibatnya sangat jauh dari sukacita. Itu sebabnya, meditasi dan penyembuhan spiritual lainnya, kebanyakan terfokus pada upaya agar “terhubung” dengan kekinian.

Di meditasi khususnya, sangat ditekankan tiga langkah penting: “terima, mengalir, tersenyum”, terutama agar segera terhubung. Orang Zen menggunakan medium bertaman, juga karena alasan keterhubungan. Orang Tibet dan Bali ritualnya sebagian menghidupi makhluk di alam bawah, juga karena alasan keterhubungan. Di tingkatan ini, berlaku ungkapan sederhana: “memaafkan adalah bibit kesembuhan, menerima hidup apa adanya adalah menyirami bibitnya dengan air, terhubung sempurna dengan saat ini itu bunga kesembuhan”.


sumber : https://www.facebook.com/maheswara.mahendra?fref=ts

Renungan : Nyanyian Harmoni

Nyanyian Harmoni
Oleh Gde Prama

Mitologi adalah kumpulan cerita tua. Ia bahkan lebih tua dari agama. Melalui seleksi jujur bernama waktu, kemudian yang tersisa bukan sembarang cerita. Ia serupa batu berumur jutaan tahun yang sudah melewati segala macam cuaca. Hanya batu dengan kualitas terbaik yang masih tersisa. Cuman, seperti menafsirkan mimpi - salah satu definisi mitologi adalah mimpi kolektif - ia memerlukan kepekaan, keterhubungan sekaligus seni. Bila dimaknakan oleh kepekaan, keterhubungan, seni, maka mitos-mitos itu bisa membuat hidup jadi nyanyian harmoni.

Tatanan Kosmik

Siapa saja yang lahir dan bertumbuh di Timur mengalami, orang tua melarang anak-anak duduk di atas bantal. Dalam logika kekinian, ia mengundang senyuman sinis. Padahal, tetua menyisakan pesan tentang tatanan sosial dan spiritual. Bantal itu temannya kepala, bila ia dijadikan alas pantat, maka terjadi kekacauan kosmik. Ia mirip dengan letak mulut dan mata di kepala. Artinya, selalu berbicara dan memandang dengan kemuliaan-kemuliaan. Begitu orang bicara dan memandang secara kotor (seperti alas kaki), maka kekacauan kosmik terjadi.

Amerika Serikat adalah guru yang baik. Di sana manusia suka sekali menaikkan kaki ke atas meja selama ratusan tahun. Dan lihat angka statistiknya, kekacauan kosmik sangat menakutkan di sana. Konsumsi pil tidur per kapita tertinggi di dunia, angka perceraian tinggi dan menaik terus, cerita anak-anak stres yang melakukan penembakan ke teman di sekolah sangat menakutkan. Laporan dunia tentang kebahagiaan tahun 2012 melaporkan, AS bahkan tidak masuk dalam sepuluh besar bangsa bahagia. Di sebuah sekolah menengah atas di Brooklyn, murid ditanya mau jadi apa di masa depan? Lebih dari dua pertiga menjawab mau jadi selebirits. Hanya sekadar terkenal, sebentuk kehidupan yang keropos dan rapuh.

Kehidupan perkotaan dengan gedung-gedung tinggi adalah contoh lain. Zaman dulu, tempat tertinggi selalu diisi oleh tempat suci. Sekarang, di gedung-gedung tertinggi berkantor orang-orang yang hanya memikirkan uang dan kekuasaan. Perhatikan, betapa kacaunya tatanan kosmik di kota-kota besar dengan gedung tinggi. Perampokan, pemerkosaan, pembunuhan adalah cerita rutin setiap hari.

Merawat Kehidupan

Cerita tua ke dua, di Timur sering dipesankan hati-hati menabrak kucing. Di Bali khususnya, tetua berpesan bila kendaraan menabrak kucing, ambil kucingnya kemudian dikubur di tempat terhormat. Ini mirip dengan kisah tua para sahabat di Barat, yang meyakini bahwa kucing adalah sebentuk malaikat. Di Prancis Selatan serta Yunani Utara, arkeolog menemukan gua panjang dan dalam yang berumur puluhan juta tahun. Di sana diukir banyak ukiran binatang secara indah dan sakral. Bila di zaman kita Tuhan digambar dengan tubuh manusia - di Hindu disebut Avatara - di zaman itu Tuhan divisualisasikan dengan tubuh binatang.

Dulu sekali, di zaman sebelum pertanian, manusia diselamatkan hidupnya dengan memakan daging. Di zaman itu juga beredar mitos, pengetahuan dan kebijaksanaan diberikan kepada binatang, bukan kepada manusia. Dibekali pengetahuan dan kebijaksanaan mendalam itulah, kemudian binatang merelakan tubuhnya untuk pertumbuhan manusia.

Dengan berbagi cerita tua ini, tentu bukan maksud tulisan ini agar manusia menyembah binatang. Sekali lagi bukan. Tapi, rasakan dalam-dalam, tidak saja manusia ingin damai, binatang juga ingin damai. Bila binatang dan pepohonan dilukai, rasa sakit yang sama juga akan mengunjungi manusia. Dengan rasa seperti ini, lebih mungkin manusia membuat hidupnya sebagai nyanyian harmoni.

Akar Tua Peradaban

Di semua agama, generasi baru amat berjarak dengan upacara. Sebagian bahkan melakukan penghakiman berlebihan. Siapa saja yang menyempatkan diri mempelajari upacara, tidak saja dengan logika juga dengan rasa, ada sejumlah pesan penting di balik upacara. Dari buku suci tersembunyi, sarana keterhubungan dengan Diri yang lebih besar, sampai dengan niat tetua agar masyarakat berkumpul membentuk tatanan sosial yang mulia.

Upacara sebagai buku suci tersembunyi memang sudah diganti oleh kertas, komputer, internet, dll. Tapi sebagai upaya untuk membuat tatanan sosial yang lebih mulia, ia belum tergantikan. Melalui upacara manusia berkumpul dengan tingkat pengendalian diri yang lebih baik dari biasanya, memikirkan kehidupan yang mulia. Demikian juga upacara sebagai sarana terhubung dengan alam tidak terlihat, ia belum sepenuhnya tergantikan. Efek upacara pada subyek yang disembah memang bisa diperdebatkan, tapi ia juga membuat penyembah semakin terhubung, rendah hati, damai.

Dengan penuh permintaan maaf pada sahabat yang anti upacara, menghentikan upacara serupa dengan membakar salah satu akar tua peradaban. Dan bila akarnya terbakar, pohonnya juga terbakar. Ini yang menjelaskan, di tempat-tempat di mana manusia jarang terhubung dengan Diri yang lebih besar melalui upacara, terasa hawa yang kering dari kedamaian. Eropa secara umum adalah Guru yang baik dalam hal ini. Di sana, manusia yang tertarik datang ke gereja sangat sedikit. Krisis keuangan Eropa membuka rahasia, hidup bermakna jauh lebih dalam dari sekadar mengumpulkan uang. Dengan menceritakan kembali semua cerita tua ini, banyak hati yang sedang disentuh. Logika, teologi, filsafat memang sebagian cara menjelaskan kehidupan. Dan bersama sastra, rasa, kepekaan, keterhubungan, cerita-cerita tua ini sedang merajut kehidupan menjadi nyanyian harmoni, yang terhubung dengan akar masa lalu yang jauh.

sumber :https://www.facebook.com/maheswara.mahendra 

Renungan : Nyanyian Jiwa

Nyanyian Jiwa

Oleh : Gede Prama

Seorang anak muda Bali bertanya secara amat menyentuh hati: ada apa dengan orang Bali?. Di pulau sendiri sudah mulai ada yang tidak betah (dalam beberapa kejadian, bahkan setelah menjadi mayat pun masih disakiti orang). Di luar Bali – ingat kisah desa Balinuraga di Lampung tahun 2012 serta kejadian di Sumbawa awal 2013 – orang Bali dikejar, diusir, sebagian ketakutan lari ke hutan, bahkan ada yang meninggal. Sehingga sambil menahan tangis, anak muda ini bertanya, ke mana kemudian kita mesti berlindung?

Nutrisi Jiwa

Sejarahwan agama Karen Armstrong yang meneliti pencarian manusia akan Tuhan selama empat ribu tahun, dan menuliskan hasilnya dalam buku Hystory of God, jernih sekali dalam hal ini. Di zaman keemasan dulu – di mana hati manusia masih bersih jernih – sejumlah orang suci bercakap-cakap langsung dengan Tuhan. Abraham dan Musa di Kristianitas, Arjuna di Hindu berdialog dengan Tuhan. Tapi di zaman ini (zaman kapak) semua orang suci dihaluskan dengan penderitaan.

Mahatma Gandhi ditembak, Yesus Kristus disalib, Marthin Luther King Jr. ditembak, Nelson Mandela dipenjara selama 27 tahun, YM Dalai Lama kehilangan negerinya tatkala berumur belasan tahun, Thich Nhat Hanh pernah diusir dari negerinya. Itu sebabnya, Pangeran Siddharta tatkala pertama kali keluar dari istana, Guru rahasia di alam memberi pelajaran pertama dan paling utama: “dukkha”. Sehingga kembali ke cerita kesedihan yang sedang melanda banyak orang Bali, penderitaan bukan hukuman Tuhan, bukan juga godaan setan, melainkan amplas-amplas yang amat menghaluskan. Meneruskan pesan Guru dari dalam: “all spiritual awakening is preceded by the dark nights of the soul“. Semua kebangkitan spiritual diawali oleh malam-malam gelap bagi sang jiwa. Dan tanda utama malam gelap bagi jiwa adalah penderitaan.

Serupa mengangkat beban berat di pusat kebugaran, maka otot-otot badan akan semakin kuat dan sehat. Otot-otot jiwa serupa. Asal penderitaan dialami secara tulus, tekun, ikhlas ia juga memperkuat dan mempersehat otot jiwa kemudian. Seorang murid meditasi pernah bertanya hubungan antara meditasi dengan karma. Dalam cerita banyak orang yang meditasinya tekun, meditasi – salah satu hasil meditasi adalah kemampuan untuk menderita secara tidak terbatas – membuat karma buruk khususnya datang tatkala kita sudah siap. Di tingkatan yang lebih dalam, sebutlah karena kekhilafan seseorang melakukan banyak pembunuhan (contohnya Angulimala), sehingga karmanya ia harus terbunuh, tapi meditasi dan berkah Guru membuat Angulimala hanya dilempar batu. Dan yang terdalam (contohnya Jetsun Milarepa), praktek meditasi mendalam yang berjumpa berkah Guru membuat bahkan kesalahan membunuh pun bisa dimurnikan. Lebih dari termurnikan, Milarepa mengalami pencerahan mengagumkan. Lewat cerita ini terlihat terang benderang, penderitaan – di tangan manusia yang meditasinya tekun, tulus, ikhlas adalah nutrisi (vitamin) jiwa.

Wewangian Jiwa

Dalam jiwa yang sudah bergizi cukup, kemudian kehidupan menunjukkan wajah yang berbeda. Kerja sebagai contoh, bagi jiwa yang kekurangan gizi (mengeluh, protes, tidak pernah puas) adalah serangkaian keterpaksaan yang membosankan. Sebagian orang bahkan dibikin sakit dan berpenyakit oleh kerja. Bagi jiwa yang bergizi cukup (tulus, tekun, ikhlas), kerja adalah Tuhan yang imanen sedang bertransformasi menjadi Tuhan yang imanen. Petani mengolah lahan (Tuhan) menjadi buah-buahan (Tuhan). Pedagang menyalurkan buah (Tuhan) ke konsumen (Tuhan). Lebih-lebih bila dilakukan dengan bahagia – karena kebahagiaan adalah bentuk puja terbaik – maka kerja adalah puja sekaligus nyanyian jiwa.

Di kedalaman penggalian meditasi seperti ini, pernah terdengar pesan indah sekali: “Similar to flower which is fragrant, the language of the enlightened so touching, because language is the fragrance of the soul“. Serupa bunga yang wangi, bahasa mahluk tercerahkan demikian menyentuh (halus, sopan, indah) karena bahasa adalah wewangian yang disemprotkan dari kedalaman jiwa. Artinya, tidak saja kerja menjadi nyanyian jiwa, bahasa juga bagian dari nyanyian jiwa.

Sebagaimana tetua Jawa, tetua Bali juga hati-hati sekali dalam menggunakan bahasa, apa lagi bertindak. Lebih-lebih bahasa orang tua ke anak-anaknya yang bisa menjadi kenyataan. Demikian juga bahasa pemimpin dan media (keteladanannya, bahasa tubuhnya, pilihan kata, kelembutan dalam mengungkapkan bahasa, kesesuaian dengan tempat dan waktu), ia ikut mencipta kehidupan. Makanya tatkala ada remaja Bali yang prihatin dengan Bali kekinian kemudian marah, Guru di dalam berpesan: “hold your opinion loosely“. Bibit kekerasan paling berbahaya tidak berasal dari perbedaan agama dan ras, tapi karena manusia dicengkram oleh pendapatnya sendiri. Sehingga melonggarkan cengkraman pendapat sendiri, adalah sebuah tugas meditatif penting di zaman ini. Caranya, apa pun yang terjadi tugas seseorang hanya menyaksikan. Seperti pesan dalam guided meditation: pikiran dan perasaan boleh muncul dalam bentuk apa saja, benar-salah, senang-sedih, baik-buruk tugasnya meditasi hanya satu yakni saksikan, saksikan, saksikan. Setelah longgar dari cengkraman pendapat sendiri, kemudian baru bisa memberi hadiah berupa pengertian ke orang lain.

Mengerti bahwa orang jahat tidak berdiri sendiri. Ada orang tua yang masih bertumbuh, ada sekolah yang belum tertata, ada pemimpin yang pelit sekali memberi tauladan, ada pemberitaan media yang penuh kekerasan dan permusuhan, ada iklan yang menggoda agar keinginan naik dan naik lagi, ada lingkungan beracun, yang semuanya membuat mereka jadi jahat. Di kedalaman pengertian yang dalam terlihat, sebagian besar orang jahat jadi jahat lebih karena menjadi “korban” keadaan bukan aktor. Tidak ada orang jahat yang meniatkan dirinya menjadi jahat. Sebagai contoh, studi-studi mendalam tentang kaum fundamentalis di banyak negara menunjukkan, kaum fundamentalis beranggapan bahwa dirinya akan diserang. Ini adalah hasil dari lingkungan yang terlalu bersaing dan kompetitif. Mempelajari penemuan ini, maka kemarahan – apa lagi serangan – hanya akan memperkuat anggapan bahwa mereka benar-benar akan diserang. Sebagai hasilnya, kehidupan kemudian bernasib seperti api yang mau dipadamkan dengan ilalang kering.

Pelajaran terpenting yang muncul dari sini, pengertian, kasih sayang, persahabatan itulah yang menyembuhkan baik pihak penyerang maupun yang diserang. Dengan pengertian, kasih sayang, persahabtan kita ikut memberi nutrisi pada jiwa masyarakat. Bersama-sama pada akhirnya kita melantumkan nyanyian jiwa. Menjawab pertanyaan amat menyentuh hati di awal tulisan ini tentang tempat berlindung, melalui cara ini manusia sedang berlindung pada cahaya (teja, surya, jiyoti) yang ada di dalam diri.


sumber : https://www.facebook.com/maheswara.mahendra

Arah Dairi Kedepannya

                                                     Arah Kabupaten Dairi Kedepannya Sebagai penduduk Kabupaten Dairi yang sedang merantau, ...