Nikolas Simanjuntak[1]
Niko simanjuntak
Batak Bersatu Dalam Warisan Nilai
Batak ‘bersatu’ saat ini terasa lebih kental bernuansa entertainment
romantika nostalgia kerinduan suasana rural agraris yang stabil di masa
lalu. Itu bagi mereka yang lahir di tanah Batak dan kini menjadi urban
migran hidup diaspora di perkotaan modern. Generasi terkini di era
SMS-internet-gadgets Batak modern, justru sedang
mengalami ancaman punah dalam dua-tiga generasi dari sekarang. Lalu,
warisan nilai-nilai kebatakan apakah yang masih tersisa untuk
mempertautkan (inter-koneksi) Batak masa lalu dengan ‘generasi digital’
terkini yang terancam punah dari akarnya?
Batak “bersatu” untuk apa?
Tahun 1824 adalah tonggak awal pengetahuan kita mengenai Batak di masa
lalu. Di sekitar tahun itu dibuat Traktat London sebagai perjanjian
transaksi penyerahan kekuasaan wilayah Tapanuli (sebutan tanah Batak di
masa itu) dari Belanda kepada koloni Inggris, yang diwakili oleh
Stamford Raffles selaku Gubernur Jenderal. Seluruh tanah Batak di masa
itu dan sebelumnya adalah total terra incognita, dunia yang belum
terjamah kemajuan Barat dan masih benar-benar splendid isolation. “Di
masa itu, tak seorang Batak pun sadar bahwa sukunya telah
‘diperdagangkan’ oleh orang-orang yang belum dikenalnya, yakni bangsa
Belanda dan Inggeris. Baik Belanda maupun lnggeris juga tidak tahu
manusia-manusia yang bagaimana menghuni daerah-daerah cakupan traktat
itu.” (Dr.A.B.Sinaga, Mgr., 2007).
Notasi tahun sejak 1824 dan
sesudah itu, kini kita ketahui sebagai awal catatan tertulis situasi
‘kesejarahan’ tanah Batak yang kita warisi saat ini. Diantaranya, telah
jadi referensi babon bagi kita, bahwa Burton dan Ward, misionaris
Inggeris menetap di Silindung pada 1824 dan berhasil menerjemahkan
sebagian Kitab Suci ke dalam bahasa Batak. Upaya ini kemudian
dilanjutkan oleh Munson dan Lyman (dari Boston, USA). Tetapi dalam
perjalanan ke pedalaman, mereka terbunuh di Sisangkak, Lobupining, 28
Juli 1834. Lalu di tahun 1851, H.N. Van der Tuuk, ahli bahasa (filolog)
tiba di Sibolga dan pindah ke Barus pada tahun 1852. Dia berhasil
menerjemahkan Alkitab ke dalam bahasa Batak. Pada tahun 1862 di
Parausorat, tibalah Pdt. I.L. Nommensen, misionaris muda yang menjadi
“Apostel di Tanah Batak”. Dan kemudian, pada 7 Nopember 1863, dia sampai
di daerah berlumpur aliran sungai Sigeaon, Tarutung, pada usia 30
tahun. Di tempat ini ia berikrar “Tuhan, inilah tempat yang kuimpikan.
Biarlah saya mempersembahkan hidupku buat mereka (Batak).”
Semua notasi tahun di sekitar dan sesudah itu, hemat saya (NS), bisa
dikatakan sebagai catatan mashab the big man history, yakni sejarah di
sekitar orang besar atau di sekitar kekuasaan dan istana tentang
Sumatera Utara dan khusus tanah Batak. Diantaranya, perang Paderi
(1835), perang Sisingamangaraja (1890-dst), perlawanan rakyat Sunggal di
Sumatera Timur, dan sebagainya.
The big man history seperti di
atas itulah, hemat saya, yang kita warisi kini menjadi referensi
pengetahuan tentang ‘kesejarahan tertulis’ Batak dan Sumut hingga saat
ini. Akan tetapi, pertanyaan besar yang seakan jadi misteri: mengapa dan
ada apa dengan catatan sejarah sosial orang-orang biasa (history of the
ordinary people) tentang Batak? Apa yang terjadi pada tahun-tahun
sekitar mulai dikenal sistem pertanian dengan irigasi? Padahal, era
inilah tonggak awal peradaban yang memutus rantai ribuan tahun budaya
meramu di wilayah splendid isolation. Bagaimana situasi era masa barter
sebelum masyarakat Batak dan Sumut mengenal jasa pertukaran dalam
bermata-pencaharian (sosio-eko-geografi)? Bagaimana sejarah sosial di
sekitar pembentukan usaha perkebunan tembakau, karet, dan kelapa sawit
di daerah pantai timur? Apa yang membuat begitu aman dan mudahnya segala
usaha korporasi itu dan usaha perminyakan di sekitar Pangkalan Berandan
di era 1800-an setelah bangkrutnya VOC? Situasi sosio-ekogeografi apa
yang terjadi di sekitar berlakunya Agrarische Wet 1870 pada masa para
pejabat kolonial mulai masuk kampung-kampung mengukur setiap jengkal
tanah warga? Seberapa parah siksaan dan derita ringkih nenek moyang
kita, di saat mereka ‘kerja paksa’ membuka hutan untuk membangun infra
stuktur-keras sarana jalan dan persawahan, di kota dan pedesaan yang
kita nikmati saat ini? Penelitian ilmiah apa dan untuk tujuan apa yang
dilakukan oleh sederet ilmuwan Belanda/Eropa di Sumut dan Batak setelah
era 1850-an, seperti Junghun, van Vollen Hoven dengan murid-muridnya,
van Bemmelen, dst.?
Sederet sejarah sosio-ekogeografi itu masih
gelap bagi generasi terkini karena belum diungkap secara umum. Lalu,
apakah generasi Batak modern akan ‘dipaksa’ mewarisi sejarah para
pahlawan, yang di sebelahnya mau merawat permusuhan abadi, antara
pemenang dan pecundang? Bagaimana ‘kita bersatu’ sebagai Batak dengan
warisan modal pengetahuan, yang ternyata untuk ‘kepentingan orang lain’?
Bagaimana kita memahami nenek moyang kita Batak, yang belum kita kenal
warisan apa sesungguhnya yang akan kita lestarikan sebagai turunan
mereka (le mort saisit ‘l vif, yang telah wafat menguasai orang yang
masih hidup, para ahli warisnya)?
Sosio-geografi splendid isolation tanah Batak
Gambaran sosio-geografi yang bagaimanakah splendid isolation tanah
Batak pada era sebelum Agrarishe Wet 1870? Boleh dikatakan bahwa segala
narasi kisah tentang asal-usul orang Batak pertama sampai dengan kisah
marga-marga dst., adalah tutur lisan berantai oleh moyang kita yang
tidak/belum berbudaya baca-tulis. Kebenaran fakta kisah itu bukan
reportase berita, seperti laporan wartawan media saat ini. Juga pasti,
itu bukan hasil kajian penelitian ilmiah. Paling maksimal semua narasi
kisah itu dalam Ilmu Budaya ataupun Sastra disebut Folklore, yang
berarti sebagai “cerita rakyat yang berisi ajaran moral yang baik
menurut tradisi atau adat-istiadat masyarakat bersangkutan.” Sebab, jika
dirunut dari hasil temuan arkeologis yang dipadu kajian epigragfis dan
ilmu sejarah sebagai referensi dasar, maka secara hipotetis
diperhitungkan keberadaan orang Batak asal adalah di sekitar tahun 1300.
Era masa itu adalah pasca mega tsunami yang menenggelamkan peradaban
kota internasional emporium Barus pada tahun 1200. Hancurnya peradaban
di Barus kuno itu, menurut referensi Barat, dikatakan karena serangan
pasukan Gargasi. Referensi ini menjadi ramuan gabungan antara Folklore
dan catatan perjalanan. Dan sesudah itu, tiada peninggalan apa pun yang
bisa dirunut tentang peradaban tanah Batak.[2]
Detil kisah
fakta peristiwa dengan gambaran situasi konteks sosio-geografis era abad
ke-13 sampai dengan tahun 1800-an di dalam narasi “sejarah Batak” yang
beredar saat ini, sungguh sangat mudah sekali dipatahkan logikanya dari
segi rasional ilmiah era modern, jika narasi itu bukan Folklore. Untuk
itu, mutlak harus dilakukan tafsir teks terhadap konteks situasi
(hermeneutik). Generasi Batak terkini pastilah sudah modern rasional,
berpengetahuan dari sekolah, bahkan sampai di perguruan tinggi dengan
capaian akademis tertinggi.
Keseharian hidup mereka generasi
kini bergumul dengan ragam berita media massa tertulis dan elektronik.
Alat mainan mereka adalah SMS-internet-facebook di laptop dan gadgets.
Mereka inilah ‘Generasi Digital’ yang dikenal sebagai Batak modern
generasi internet-gadgets masa kini. Semua alat modern itu tidak pernah
dikenal, bahkan tak pernah ‘kan terbayangkan oleh moyang kita, Batak
asal splendid isolation yang diperkirakan hidup di sekitar tahun
1300-an.
Kini, dari berbagai referensi ilmiah di era modern
rasional, telah mudah ditelusuri oleh generasi Batak modern terkini
untuk mengetahuinya. Ternyata, setelah ratusan tahun era VOC yang
kemudian bangkrut pada 31 Des 1799, lalu menyusul masa pemerintahan
kolonial Belanda di tahun 1800. Barulah di tahun 1824, orang-orang
Eropa/Belanda mencatat, seluruh daerah tanah Batak sebagai wilayah yang
tertutup isolasi rapat (splendid isolation), karena keadaan alam rimba
belantara dengan beragam hewan buas dan ganasnya jurang lembah curam
pegunungan yang tertutup rapat. Antar masyarakat kampung (huta) yang
satu dengan yang lain, tertutup gundukan tanah tinggi dan pepohonan
merapat, sehingga antar mereka tidak berkembang relasi sosio-ekonomis,
bahkan selalu saling curiga sebagai musuh.
Imajinasi kita
pelaku modern saat ini harus diputar-ulang keluar dari gambar situasi
sosio-geografis tanah Batak pasca-kemerdekaan RI, agar kita bisa
merasakan rangkaian afeksi peristiwa di dalam narasi itu. Budaya era
zaman di dalam kisah ‘narasi sejarah’ atau folklore Batak, hampir pasti
masih meramu dengan sistem barter dalam bermatapencaharian. Mereka belum
mengenal pola pertanian dengan irigasi dan jasa relasi sosio-ekonomi.
Juga pasti, belum ada sarana jalan penghubung yang lancar antar kampung,
karena semua infrastruktur keras itu baru mulai dibangun setelah tahun
1800-an di masa pemerintah kolonial, puluhan tahun setelah runtuhnya
VOC. Situasi zaman itu hampir pasti, mirip dengan suku-suku primitif
Amazon di Amerika Latin atau suku primitif lainnya dalam acara TV
National Geographic dan Discovery Channel, Meet the Natives, yang di era
global masa kini telah menjadi tontonan hiburan.
Narasi kisah
‘sejarah orang Batak’ hampir pasti berupa “petualangan sarat bahaya” di
masa sebelum pemerintahan kolonial Hindia Belanda (1800an). Berarti,
semua narasi itu ada di masa sebelum kolonial yang pasti juga tanpa ada
pengaruh VOC dan suku luar ke wilayah tanah Batak, yang terisolasi hutan
lebat alam pegunungan yang dingin menusuk tulang di pagi, sore, dan
malam hari. Dalam situasi sosio-geografi itulah, nenek moyang Batak
sehari-hari bertualang menembus belantara raya bertabur ancaman bahaya
alam dan hewan buas dari satu huta ke huta yang lain, dari lembah yang
satu ke lembah yang lain di seputar danau Toba.
Bagaimana
mereka menyebar ke berbagai daerah ke luar dari wilayah sekitar danau
Toba? Hampir pasti situasi historisnya di zaman itu, sudah masuk era
penjajahan dan penindasan yang ringkih dengan kerja paksa oleh
pemerintahan kolonial, untuk membangun jalan raya dan merambah hutan
menjadi daerah persawahan, perladangan, perkebunan, dan perkampungan
(huta) yang kita nikmati di zaman ini. Tetapi lagi-lagi, semua detil
fakta peristiwa di dalam narasi migrasi suku dan sub-suku (tribes) itu,
tidak bisa dibuktikan sebagai laporan wartawan atau penelitian ilmiah,
melainkan benar-benar sebagai Folklore, cerita rakyat yang mengandung
moral kultural, nilai tradisi unik, karakter kepribadian dan
kekeluargaan khas, untuk diwariskan kepada semua turunannya di masa kini
dan masa depan.
Warisan Nilai-nilai Kebatakan
Setiap
pewarisan selalu berarti “menghidupkan kembali” kenangan sangat kuat
(memoria) yang menggetarkan dorongan bergemuruh dalam sikap hati
(tremendum et fascinossum) agar aktif bersikap-tindak. Proses pewarisan
itu sekaligus menjadi transfer kuasa, karena pewaris sebagai leluhur
yang telah meninggal dunia, masih menguasai mereka semua ahli waris yang
masih hidup (le mort saisit l’vif). Maka, warisan leluhur kita orang
Batak harus bisa tampak nyata berbentuk peninggalan yang bernilai tinggi
dan luhur mulia untuk diteruskan ke masa yang akan datang.
Warisan apakah dari leluhur kita moyang Batak, yang bernilai luhur
tinggi dan benar-benar baik serta bermanfaat untuk diteruskan bagi
generasi kini dan yang akan datang? Untuk itu, kita ahli waris di zaman
modern, harus menatap ke depan dengan memposisikan masa lalu sebagai
bahan yang sungguh amat penting bagi pembelajaran di masa akan datang.
Menanggalkan masa lalu yang tidak bernilai untuk masa depan, memaafkan
segala yang kita nilai kini sebagai kesalahan dan kekeliruan di masa
lalu (forgive but not to forget). Itu persis sejalan dengan nilai
tradisi asli Batak: “Sude do hinauli na denggan na burju ingkon
siingoton, alai sude sahit dohot jea ingkon do bolongkonon”. Dengan
begitu, warisan yang bisa kita petik dari narasi Folklore ‘sejarah
Batak’, yang bernilai kultural tradisional khas Batak alami (natural
particularity), hanya bisa dirunut dari upaya tafsir modern terhadap
narasi kisah tersebar yang telah umum diketahui saat ini.
Tafsir apakah yang bisa dipetik dari narasi kisah itu sebagai Folklore
yang bernilai luhur tinggi untuk masa kini dan ke depan? Upaya
menafsirkan itu berarti juga cara merasionalkan segala mitos, atau
demitologisasi, narasi ‘sejarah Batak’ agar generasi terkini dapat
memperoleh manfaat pemahaman rasional dari nilai kultural tradisional
khas Batak (cultural identity), seraya menaruh rasa hormat kepada si
penutur kisah. Sekurang-kurangnya ada 7 (tujuh) butir berikut ini, yang
dapat disebut untuk dikembangkan lagi secara kreatif inovatif, bagi
kemaslahatan kita bersama Batak modern generasi kini, antara lain
sebagaimana berikut ini.
Pertama. Sikap hormat sepenuhnya
kepada orang tua yang masih hidup dan yang sudah meninggal, terutama
hormat bagi nenek moyang orang tua dan semua anak turunannya. Urutan
asal pohon silsilah yang jelas, harus terus dicatat untuk dipelihara dan
diturunkan ke putra-putrinya. Karena tanpa itu, bisa jadi timbul
masalah serius, jadi tercerabut dari akar pohon asal-usul budaya
keluarganya sehingga disindir sebagai Dalle [mengaku diri Batak tapi tak
paham tentang Batak].
Kedua. Kearifan lokal Batak dengan
identitas kultur yang partikular unik dan bernilai luhur tinggi, sebagai
local genius dalam sistem relasi religi sosial demokratis Dalihan Na
Tolu: somba marhula-hula, manat mardongan tubu, elek marboru. Hula-hula
(pihak marga isteri, ibu sendiri, ibu ayah) di setiap keluarga Batak dan
semua saudaranya, hingga kini masih sangat dihormati (somba). Begitu
juga semua keluarga hula-hula selalu dengan penuh kasih (elek) kepada
Anakboru yang menghormatinya selaku Hula-hula. Diantara sesama dongan
tubu (sesama keluarga semarga sendiri), harus selalu saling super
hati-hati (manat-manat) penuh pertimbangan akal sehat dalam setiap
relasi, agar jangan pernah sampai timbul selisih paham jadi masalah yg
serius. Demokrasi yang egaliter, transparan, dan akuntabel, sudah
berakar dalam praktik kultur asli Batak, bukan lagi sekadar konsep.
Ketiga. Kepribadian pekerja keras berkarakter ulet, berdaya-tahan, tak
kenal menyerah, sampai mampu mempertahankan diri dan seluruh keluarganya
dari segala ancaman marabahaya fisik dan non-fisik untuk hidup
berlanjut (sustainable survival). Karakter ini sudah dikenal luas oleh
masyarakat nusantara, sebagai Batak yang keras, tegas, eksplosif, ulet,
pekerja yang rajin, dst… Tapi sering juga salah tingkah, karena jadi
tampak garang, sangar, tanpa basa-basi diplomasi, hingga bahkan bisa
jadi diberi cap kasar (streotype). Tampilan kemasan luar “tampak kasar”
ini harus diperbaiki terus-menerus oleh generasi Batak era modern kini
dan ke depan. Namun, jangan sampai menghilangkan mentalitas jatidiri
kepribadian berarakter yang sudah terpatri dan dikenal umum selama ini.
Keempat. Daya mampu spiritualitas dan komunikasi batin yang sangat kuat
dan mendalam, menyatu-padukan kekuatan metafisis alam semesta (holistic
resources spirit) sebagai dasar hidup rohani dengan terus mengasah
olah-batin mondar-mandir ke daya olah-pikir. Pastilah, setiap moyang
Batak yang hidup di isolasi alam ganas itu memiliki kekuatan fisik dan
spiritual yang hebat dan mengagumkan. Mereka berani mengarungi ganasnya
alam dan hewan air di sekitar danau Toba dalam situasi geografi tahun
1300-1800an. Dari daerah Balige di arah timur, ada yang bertualang ke
ujung paling barat danau di kaki pegunungan seram di pinggiran hutan
lebat, hunian gajah dan harimau sumatra yang terkenal ganas di huta
Sihotang. Dan setelah memperoleh isteri dari keluarga Raja Sihotang,
maka pastilah Raja ini tidak asal sembarang marhela kepada seorang Raja
juga yang memperisteri putrinya. Tentu saja, minimal kedua Raja ini
sama-sama jagoan dalam fisik dan non-fisik. Rap halak jolma na gogo di
parbadanon nang di partondion. Pastilah juga, ketika kembali ke kampung
halamannya bersama isterinya, mereka berdua pun begitu hebat dan
mengagumkan kekuatan fisik dengan daya spiritual sangat tinggi. Selama
bertahun berbilang bulan mereka berjalan kaki menjelajah hutan rimba
raya pegunungan dingin menggigit, saban hari diintai hewan buas, dan
mendayung di perairan dengan segala ancaman bahaya arus dan angin.
Terbukti pula, kini di era modern, kita ketahui laju sejarah kemajuan
perkembangan hidup beragama dan berpendidikan, dsm., yang terjadi di
tanah Batak ternyata dicatat sebagai salah satu “yang tercepat lajunya”
dari berbagai belahan dunia lainnya.
Kelima. Urutan generasi
penomoran pohon silsilah keluarga setiap marga, relatif kecil
kekeliruannya; karena kuatnya identitas khas sistem relasi Dalihan Na
Tolu. Kecuali, kekeliruan bisa jadi soal yang serius seperti sindiran
Dalle. Itu bisa terjadi sebagai keterputusan budaya (diskontinuitas),
karena ‘praktik lalai’ atas berbagai sebab dan alasan menghilangkan
keunikan tradisi dan identitas khas Batak dalam diri dan keluarga
intinya disebabkan situasi lokal perantauan. Situasi diskontinuitas ini
nyata sangat rawan bagi generasi Batak modern terkini, yang bisa jadi
punah pada dua-tiga generasi dari sekarang. Sebab, relasi emosional
generasi perkotaan sudah tidak tersambung dengan generasi di tempat asal
(Bonapasogit), terutama setelah generasi orangtua masing-masing sudah
meninggal dunia. Tambahan lagi, bahasa Batak dan acara-acara budaya
asli sudah tidak menarik perhatian generasi terkini, karena dianggap
memboroskan energi, waktu, dan biaya.
Keenam. Segala bentuk
kekerasan dan “permusuhan antar keluarga” di dalam nuansa dan nada kisah
narasi beberapa marga Batak., harus ditinggalkan semua aspek
kekerasannya. Tafsir teks dan konteks harus dilakukan terhadap situasi
faktual sosio-geografi di era tahun 1300-500an, yang tidak/belum kenal
budaya baca-tulis, untuk mencatat fakta laporan peristiwanya. Namun,
benarlah keberlanjutan hidup diri sendiri dan keluarga di dalam kisah
folklore itu, hanya bisa diteruskan oleh yang terkuat mampu bertahan
(survival for the fittest) sebagai nilai ajaran. Tak pernah bisa
dibenarkan adanya nilai luhur yang rasional dari “permusuhan antar
saudara” untuk boleh diwariskan. Kecuali jika hal yang diwariskan
adalah: jangan pernah ada permusuhan lagi antar sesama semarga kapan dan
dimana pun. “Ia molo dung sega, dipauli ma, alai molo adong ia na
tading, niulahan mamukka paulihon.” Ini pun local genius Batak juga.
Ketujuh. Demitologisasi rasional dari tafsir-ulang (hermeneutik) narasi
itu, menampakkan nyata adanya warisan nilai tradisional kultural Batak
yang bernilai luhur tinggi bagi generasi terkini, yaitu: agar kita
senantiasa saling merawat kasih kemanusiaan dan melestarikan sikap
anti-segala kekerasan (nonviolence). Semua kisah seram “permusuhan antar
saudara” di dalam satu marga, telah menjadi luka batin mendalam menusuk
tulang sumsum secara berantai bergenerasi dengan semua akibat ikutannya
dialami hingga ke masa kini. Luka-luka batin itu dikisahkan, konon
terjadi di masa lalu, di sekitar tahun 1300-1500an. Bukankah seharusnya,
itu bisa dimaafkan walau tak perlu dilupakan untuk bahan pembelajaran.
Forgive but not to forget. Biarlah itu tinggal, jadi masa lalu untuk
dimaafkan. Maka, jangan pernah diulangi lagi sampai kapan, dimana pun,
dan oleh siapa pun juga. Luka lama “permusuhan antar saudara” bisa juga
terjadi antar saudara satu Ayah dari dua/lebih ibu. Maka, jelas dan
tegas jadi moral warisan yang diturunkan dari narasi Folklore ini
adalah: Lelaki Batak jangan pernah berpoligami, “marimbang” atau “unang
mardua-dua inanta di jabu”. Di dalam satu Doa Martonggo-tonggo Batak
asli bisa kita ketahui moral ini “Si dangka ni arirang, arirang ni Pulo
Batu; Na so tupa sirang naung ho saut di ahu; Na so tupa marimbang sai
hot tondi di jabu.”
Menjelaskan dan memahami secara
komprehensif, benar, dan baik tentang esensi kisah narasi dan luka-luka
batin itu, memang juga sungguh sulit dicarikan obatnya di masa lalu.
Pastilah, itu karena informasi pengetahuan, ilmu, dan teknologi terbatas
di masa itu. Sulit cari obat, juga kita temukan dalam pengalaman banyak
penyakit di masa lalu. Tapi di zaman ini, sudah hampir tiada penyakit
yang tak bisa disembuhkan. Luka batin permusuhan ini, jika pun tak bisa
kita sembuhkan, tapi bisa kita tanggalkan. Kita tinggalkan masa lalu,
seraya menatap hari esok dan ke depan. “Sae ma angka na salpu, lupa ma
angka na tading gabe ilu-ilu, sai ro ma angka na uli na denggan, martua
dapotan sude gabe pasu-pasu, marsogot nang haduan.”
Lagi pula
kini, segala bentuk kekerasan, diskriminasi, dan permusuhan itu adalah
nyata menjadi pelanggaran HAM (hak-hak asasi manusia), yang dilarang
oleh sistem budaya dan hukum negara. Juga itu jelas dan tegas dilarang
oleh sistem dunia internasional. Oleh sebab itu, tidak mungkin
diteruskan sebagai warisan yang bernilai bagi generasi kini dan yang
akan datang. “Ai sahit sisongon i, nang sude angka jea na sotupa, ingkon
do i hatop-hatop bolongkonon.”
Batak Modern?
Siapa
dan bagaimana Batak modern? Dilemma psiko-sosio-kultural bermentalitas
splitz-personality, menjadi soal utama dalam pengalaman masyarakat kota
besar seperti Batak di Jakarta. Situasi dan kondisi lokal Jakarta nyata
tidak lagi rural agraris, tapi menjadi urban migran. Kehidupan di
Jakarta dan kota besar lainnya tidak lagi stabil seperti desa. Tapi
nyata sangat dinamis dengan frekuensi mutasi fisik dan psiko-sosiologis
yang cepat berubah-ubah. Orang Batak yang bermukim di Jakarta (dan kota
besar lainnya) tak bisa lepas dari situasi urban migran. Karena
senantiasa dia masih disibukkan urusan keluarga dan peristiwa di kampung
halaman yang masih agraris. Sementara irama hidup berkeluarga dan di
pekerjaan sendiri, menuntut sikap tindak profesional dan rasional dengan
pertimbangan yang sangat terukur dari segi waktu, biaya, dan enerji
penggerak psiko-sosial. Frekuensi perubahan dinamika hidup sangat
tinggi, dari satu territori ke wilayah lain di seantero nusantara. Pun
topik yang sedang digumuli bisa bergeser begitu saja, langsung dari
urusan niaga, bisnis manajemen ke perbincangan tentang keluarga,
melompat ke situasi moneter, dan loncat lagi ke berita politik hukum
aktual, terus sambil berhitung jam sibuk macet di jalanan, dst.
Begitulah wujud nyata hidup pragmatis dan pertimbangan praktis kaum
urban migran Jakarta, yang hidup dalam diaspora terbuka (open soiety)
peradaban global dengan sarana canggih tekno-multimedia.
Tetapi
apakah rasa bersatu selaku Batak masih relevan dalam konteks urban
migran diaspora terkini? Nyata, masyarakat Jakarta dan kota besar
lainnya masih mengharapkan kerinduan ‘Batak bersatu’ akan terpenuhi di
dalam acara adat atau upacara khas Batak. Namun implikasinya, bukankah
fenomena kerinduan itu seakan jadi fatamorgana. Sering terjadi contoh
soal, kerinduan seorang yang sudah merasa berhasil di Jakarta. Lalu agar
senantiasa dekat dengan Ayah Ibu yang juga sangat dirindukan oleh anak
kandungnya yang mungil, maka orang-tua yang biasa hidup di alam
pertanian dusun itu pun ‘dipaksa’ menghidupi udara polusi hiruk pikuk
Jakarta. Si orang tua biasanya tak kerasan meninggalkan sawah ladang dan
segala pernik desa sunyi alam asri. Tapi dia juga tak sampai hati
meninggalkan cucu tersayang dan anak yang sungguh merindukannya. Itulah
wujud nyata splitz personality psiko-sosio-kultural kaum urban migran
kini, yakni generasi pertama dan kedua hasil bermata-pencaharian di
perkotaan modern. Mereka ini ada yang masih terpaut langsung dengan
keluarga Batak di tanah asal (bonapasogit). Tetapi juga ada yang sudah
‘lebih Jawa dari Jawa’ atau sudah lebih Sunda karena menyunda hidup di
Tatar Sunda.[3] Jika pun ada beberapa kajian atau buku yang menguraikan
situasi budaya asli Batak, tidak akan sampai untuk mereka baca. Jika pun
buku itu ada, tapi mood psikologis untuk membaca kisah narasi
berpanjang-panjang, tidak sesuai dengan alam kondisi mereka yang sangat
praktis, perlu singkat, tegas, direktif, terinci, dan bernilai nyata.
Dunia hidup mereka di perkotaan, sungguh jauh berjarak tak bisa
dikomparasi dengan alam kultur rural agraris. Satu-satunya penyatuan
situasi adalah bahwa mereka itu masih Manusia yang tak-lepas dari akar
kultur asal di pedesaan.
Masa depan masyarakat Batak modern
terkini, juga sangat ditentukan di sentra wilayah marginal urban migran.
Ancaman akan hilangnya generasi (the lost generation) menantang kaum
muda Batak dan para profesional Batak terkini untuk menyelamatkannya.
Relevansi konteks situasi ‘Batak bersatu’ yang dulu di pedesaan hampir
selalu ‘hadir bersama’ apakah masih bisa dipertahankan? Situasi personal
contact yang intim penuh emphati, justru sangat dirindukan oleh kaum
urban migran kini. Betapa sering terdengar jeritan tangis membatin, yang
mengeluhkan sangat perlunya fasilitasi pendampingan personal kontak
bagi kaum pekerja rendahan, buruh, profesional kerah biru dan putih,
aktivis advokasi, yang juga digumuli oleh orang Batak modern di
perkotaan padat dan daerah industri. Pengalaman nyata menunjukkan juga
bahwa sangat diperlukan inspirasi, animasi, dan coaching egaliter
berbentuk fasilitasi pendampingan yang penuh persahabatan intim bagi
kaum muda Batak yang menyebar diaspora di eksekutif swasta, di
lingkungan kerja sosial kemasyarakatan, dan kenegaraan. Bagaimana cara
dan solusi ke arah itu?
Tentu saja disadari ada ragam kesulitan
dan implikasi praktis yang akan muncul dari panggilan fasilitasi
pendampingan untuk dunia itu. Tetapi justru itu pula yang menjadi
sebentuk challenges bagi ujian integritas pribadi Batak mapan, yang
diharapkan jadi fasilitator pendamping bagi kaum urban migran dinamis
diaspora di perkotaan. Sekali lagi, disini diperlukan warisan nilai
bersama dari kekayaan, kekuatan daya dan komunikasi batin kepenuhan
hidup spiritual peninggalan moyang Batak di masa sebelum tahun 1800 di
wilayah splendid isolation. Sebab, berbagai kemudahan dan fasilitas dari
situasi zaman ini, menjadi “musuh” langsung terhadap kesetiaan
nilai-nilai hidup keutuhan keluarga. Ruang privacy sangat mudah dan
banyak diperoleh kini, sehingga sangat terbuka adanya penyelewengan
sumpah bermonogami. Godaan kenikmatan duniawi dari berbagai materi dan
fulus yang sangat mudah dijangkau. Alat-alat kontrasepsi dijual bebas,
sementara usia pra-nikah menjadi sangat lama. Semua ini mempermudah
runtuhnya keutuhan nilai-nilai luhur berkeluarga. Norma warisan leluhur
tentang Si dangka ni arirang, arirang ni Pulo Batu; Na so tupa sirang
naung ho saut di ahu; Na so tupa marimbang sai hot tondi di jabu” akan
semakin tidak mudah dijaga keutuhannya dalam suasana ‘Batak bersatu’ di
era zaman serba terbuka yang menerobos ruang privacy di masa kini, dst.
***
Deskripsi di atas itu kiranya bisa menunjukkan, betapa sederet soal
berimplikasi praktis dilemmatis di dalam splitz personality, antara
mentalitas urban migran berbaur romantika kerinduan rural statis, justru
memerlukan redefinisi, reformulasi, dan revitalisasi bagi kerinduan
‘Batak bersatu’ yang berkembang dari masa lalu ke masa kini. Konteksnya,
agar tidak sekadar mengejar target entertainment romantis kerinduan
situasi rural agraris yang statis di masa lalu. Sejumlah soal praktis
ancaman bahaya dialami Batak modern terkini. Mereka sedang mengalami
situasi rentan tercerai berai dan tercerabut dari akar asal-usul Batak
asli menuju punah pada dua-tiga generasi dari sekarang. Soal-soal itu
menjadi tantangan nyata yang dihadapi oleh kerinduan ‘Batak bersatu’.
Deretan soal itu juga nampak jauh lebih bernilai moral luhur untuk
dicarikan solusi, daripada sekadar motivasi ‘bersatu’ untuk memobiliasi
massa bagi tujuan pragmatis, kondisional, situasional partisan, temporer
berjangka pendek dengan instrumen retorika ‘Batak bersatu’.***
[NikS.05ix12]
[1] Makalah ini dibuat atas permintaan
Perkumpulan Gerakan Batak Bersatu Jkt utk presentasi 20 Nov 2012 di UKI
Jkt. Beberapa bagian tulisan ini diolah dari riset Penulis (NS) ttg
‘Hukum Acara Kanibal dalam Budaya Animis’ di dalam buku “Acara Pidana
Indonesia dalam SIRKUS HUKUM” Penerbit Ghalia Ind., Jkt, 2009 dan riset
terbatas ‘Napak Tilas Peta Sejarah dalam Narasi Simanjuntak Sanggamula’
[2006], juga sebagian dari Paper (NS) “Refleksi Historis Religiositas
Masyarakat Asli Indonesia” bersama Ahli Arkeologi dan Ahli Sejarah
Gereja dalam Forum Studi Iman Ilmu Budaya, Bhumiksara, Jakarta, Maret
2003;
[2] Penulis bermukim di Jakarta, kelahiran Barus Tapanuli
Tengah, alumnus Seminari PSiantar (Prima ‘69), lulusan Univ Islam Sumut
(angkatan 1983) dan Pasca-Sarjana Univ Padjadjaran Bandung (angkatan
1992), Pengajar Hukum, HAM, dan ADR di Atmajaya Jakarta, Sekjen ISKA
(1997-2001) dan Aktivis di NGO Internasional Pax Romana/ICMICA
(Intellectual Movements on Interreligious and Inter-Cultural Affairs),
sejak thn 2000 Staf Ahli di DPR RI, Advokat sejak thn 1988 dan Aktivis
di berbagai organisasi lain-lain. [Email: nsplaw@gmail.com]
[3]
Ref. Hasil penggalian terkini (1990-an) di situs Lobutua Barus oleh tim
peneliti dari Ecole Francaise d’Extreme-Orient dan Pusat Penelitian dan
Pengembangan Arkeologi Nasional, yang tidak secara khusus bertujuan
mengungkapkan relasi sosio-geografi itu, tetapi banyak deskripsi dari
situ yang bisa dirujuk [Claude Guillot cs., Lobu Tua, Seajarah Awal
Barus, 2002; Barus Seribu Tahun Yang Lalu, 2008]
[4] Dr. Togar
Nainggolan OFMCap, Batak Toba di Jakarta Kontinuitas dan Perubahan
Identitas, disertasi di Univ Nijmegen, Belanda, Percetakan Bina Media,
2006;